Novel Elena (Part 22) - Baca Gratis Disini

Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next  Tere Liye. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404

Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 22

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Baca Novel Elena Part 22 Di Sini Sekarang

Al menghambur ke arah jalan besar untuk menghampirinya, Elena kalah cepat tak sempat menarik tangan Al.

"Tidak, AL! Tunggu!" teriak Abu Hamzah.

BRAKKK! Terlambat, sebuah mobil dengan kecepatan lumayan menghantam tubuh kecilnya.

"AL!!!" Elena histeris melihat buah hatinya bersimbah darah.

Abu Hamzah memburu Al yang tergeletak di tengah jalan raya. "Panggil ambulans, tolong!" teriaknya.

Novel Elena
Part 22


Dalam sekejap orang-orang berkerumun, sebagian kecil berusaha menolong sementara sebagian besar lainnya hanya menonton.

Detik-detik berlalu terasa begitu lama dan menegangkan, melihat darah yang terus mengucur Abu Hamzah mulai hilang kesabaran.

"Berikan gawaimu," ujar Abu Hamzah pada Elena yang buru-buru menyerahkannya.

Wajah Elena pias penuh kecemasan dan ketakutan, istighfarnya bersilih ganti dengan doa. 'Ya Rabbi, ya Rabbi, hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan maka tolonglah kami ...'

Abu Hamzah menekan nomor, terdengar nada sambung sebentar lalu ia terhubung dengan seseorang di seberang sana. Ia menghubungi ibunya yang ternyata pernah menjadi salah seorang tenaga medis.

"Mom, seorang anak lelaki usia sekitar tujuh tahun tertabrak sebuah mobil, sejauh ini aku cuma bisa melihat pendarahan luar. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Abu Hamzah.

"Telepon medis!" seru Mommy.

"Sudah. Entah apa yang membuat mereka datang begitu lama," sahut Abu Hamzah sedikit emosi.

"Ok. Dengarkan baik-baik. Jangan panik! Kau harus berpikir jernih dan melihat dengan jeli! Perhatikan, apakah ia tersadar?   

Longgarkan pakaiannya. Lihat darimana pendarahan berasal. Gunakan sarung tangan sekali pakai untuk mencegah penyebaran infeksi pada bagian yang terluka. Bersihkan sekitar luka dengan cairan antiseptik dan jangan sampai mengenai bagian luka.

Jika ada benda asing pada bagian luka, jangan menariknya karena bisa memicu pendarahan atau komplikasi lain. Usahakan untuk menekan pada bagian kanan dan kiri luka. Kemudian balut dengan perban dan berikan tekanan yang kuat untuk menghentikan pendarahan.

Usahakan agar ia tetap tenang dalam posisi berbaring untuk mengurangi pendarahan.

Jika luka pendarahan terdapat pada bagian tungkai namun tidak terdapat tanda patah tulang maka usahakan bagian tersebut lemas untuk mengurangi pendarahan.

Kau paham?" terang Mommy dengan detil.

"Oke. Oke. Tetaplah tersambung, aku masih membutuhkanmu," ujarnya

Abu Hamzah meminta Pak Udin yang sudah ada diantara kerumunan untuk mengambil kotak P3K dari mobil dan menyerahkan segera padanya.

Ia menepuk pelan pipi Al, "Halo jagoan, bisa mendengarku?"

Al membuka mata, mengerjapkannya lemah. Abu Hamzah melakukan langkah demi langkah sesuai instruksi ibunya dengan sigap dan tenang.

"Mom, aku sudah melakukan semuanya. Ada beberapa bagian luka, yang terparah di bagian perut sepertinya ada semacam benda yang menancap dan terus mengucurkan darah. Apakah aku boleh memindahkannya atau langsung membawanya ke rumah sakit?"

"Tidak, jangan! Kau tak tahu cidera apalagi yang ia alami. Tunggu medis datang, berusahalah memperlambat keluarnya darah. Bagaimana keadaanya sekarang?"

"Ia ... pucat, badannya terasa dingin dan napasnya cepat, bibirnya membiru dan terlihat gelisah."

"Anak itu mengalami syok. Semoga bantuan segera datang," gumamnya.

Tidak lama terdengar suara sirine ambulans mendekat dan beberapa mobil polisi. Abu Hamzah dan Elena menarik napas sedikit lega lalu mengakhiri teleponnya.

Tim medis mengevakuasi Al ke dalam ambulans. Tangan Al berusaha menggapai Abu Hamzah, lemah. Elena mengangguk, mengijinkan Abu Hamzah ikut masuk ke dalam ambulans bersamanya.

Elena terlalu sibuk memperhatikan kondisi Al, ia tidak mempedulikan pengendara mobil yang menabrak anaknya.

"Bu, saya mohon maaf. Saya sedang terburu-buru mengejar jadwal penerbangan ketika anak Ibu tiba-tiba menyeberang jalan. Saya harap kita dapat menyelesaikan dengan kekeluargaan. Ini kartu nama saya, saya akan bertanggung jawab dan membantu biaya berobat anak Ibu," jelas laki-laki setengah baya itu memohon pengertian Elena.

Elena mengambil kartu nama itu, melihatnya sekilas. Mengangguk lalu pergi menyusul masuk ke dalam ambulans. Tak ada waktu sekarang untuk meladeninya.

Di dalam ambulan yang bergerak menuju rumah sakit, Al nampak semakin lemah. Ia berusaha berbicara, Elena melepaskan masker oksigen dari wajahnya lalu mendekatkan telinganya pada Al.

"Eugene, aku senang ia datang menepati janjinya padaku. Sampaikan terima kasih," bisik Al melemah. Elena menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris, mendengarnya Abu Hamzah tersenyum pada Al.

"Aku sayang padamu, Al. Bertahanlah, jagoan," ucap Abu Hamzah di telinga Al.

Al mulai kehilangan kesadaran, pupil matanya melebar dengan pandangan kosong dan tidak berbicara apa-apa lagi. Elena kembali memasang masker oksigen ke  wajah Al.

Sampai di rumah sakit, para tenaga medis sigap menangani Al masuk ke dalam ruang ICU. Abu Hamzah menarik tangan seorang lelaki yang di matanya dikenali sebagai dokter.

"Tolong berikan usaha yang terbaik untuknya. Aku mohon," ujarnya.

Lelaki itu menatap Abu Hamzah, tersenyum sekilas menepuk-nepuk punggung tangan Abu Hamzah seolah berusaha menenangkan lalu berlalu masuk ke dalam ruangan ICU menyusul Al.

Elena meninggalkan Abu Hamzah tanpa mengatakan apa-apa, ia beranjak ke bagian administrasi untuk mengisi data-data Al.

Elena menghubungi Ibnu, ia menceritakan bahwa Al mengalami kecelakaan tetapi ia tak mengatakan bahwa Abu Hamzah terlibat di dalamnya. Ibnu berjanji akan segera pulang. Elena menutup teleponnya lalu duduk di depan ruangan dimana Al dibawa masuk ke dalamnya.

Abu Hamzah duduk bersebrangan dengan Elena, saling berhadapan badan tapi sama sekali mengalihkan pandangan tanpa sepatah kata terucapkan. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing sampai ketika pintu terbuka dan seorang dokter keluar.

"Anda Ibunya?" tanya dokter itu pada Elena.

"Iya, Saya ibunya. Bagaimana hasilnya, Dok?" Elena balas bertanya.

"Terdapat memar akibat benturan di beberapa tempat tapi tidak terlalu mengkhawatirkan. Kecuali sepotong lempengan besi usang yang patah dan menusuk masuk ke dalam perut yang mengakibatkan pendarahan hebat. Usaha yang dilakukan di tempat kecelakaan banyak membantu kondisi anak Ibu namun tetap saja sudah terlalu banyak kehilangan darah. Anak Ibu masih dalam keadaan kritis. Kami memerlukan beberapa kantung darah segera, tapi kami tidak mempunyai persediaan darah yang cocok dengan anak Ibu karena golongan darahnya langka. Bisakah Ibu mengusahakan dalam waktu kurang dari dua jam?" papar Dokter.

"Golongan darah saya juga tidak cocok, Dokter ... saya sudah pernah memeriksakannya," jawab Elena cemas.

"Ibu bisa menghubungi komunitas golongan darah dengan rhesus negatif untuk meminta bantuan," saran Dokter itu.

"Apakah kau ayahnya?" tiba-tiba dokter itu berpaling dan bertanya pada Abu Hamzah yang serta merta terkejut dan bingung menjawab apa.

Beberapa detik hening Elena menatap Abu Hamzah dengan pasrah, "Ya, ia adalah ayahnya ..." sahutnya pelan.

Abu Hamzah terbelalak kaget dugaanya selama ini benar, ia berusaha menguasai perasaannya yang campur aduk dalam satu waktu.

"Bagus! Ikut Saya, kita cek dulu sebelum pengambilan darah."

"Baik, Dok. Kau bisa mengambil apapun dariku yang bisa kau gunakan untuk menyelamatkan nyawa Al. Apapun!" tegas Abu Hamzah.

Elena menatap Abu Hamzah penuh arti dan menggerakan bibirnya tanpa bersuara, "Thank you."

Lelaki itu tersenyum pada Elena, seolah berkata semuanya akan baik-baik saja.

Elena menghubungi Abah dan Ummi, keduanya sama-sama terkejut dan berjanji akan segera datang ke rumah sakit.

Semua prosedur sudah dijalani, pasokan darah tercukupi namun Al masih belum sadar. Abu Hamzah duduk di sebelah tempat tidur, ia sedikit lemas namun bersikeras ingin menemani Al. Ia menggenggam tangan Al sambil menceritakan kembali jenis-jenis kereta raksasa yang pernah ia ceritakan di sekolahnya. Sesekali diciumnya tangan Al, matanya berkaca-kaca. Baginya mendapat kepastian bahwa Al adalah anaknya adalah hadiah terbaik yang diberikan Allah pada hari pertama ia masuk Islam.

Elena memperhatikan keduanya dari balik kaca jendela, buliran bening yang jatuh membasahi kedua pipinya menderas. Elena menyentuh dengan punggung jemari, untuk pertama kali dalam sekian tahun terakhir akhirnya ia bisa menangis lagi.

Abah dan Ummi datang membawakan makanan dan minuman, Elena membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan Ummi Izza yang menenangkan.

Abah dan Ummi Izza melihat sosok Abu Hamzah bersama Al, mereka saling berpandangan. Elena hanya bisa menunduk tanpa tahu harus berkata apa. Namun tak seorangpun dari keduanya menceritakan pada Elena perihal Abu Hamzah yang kini seorang muslim. Keduanya tinggal di rumah sakit menemani Elena.

Malam keesokan harinya, Ibnu datang sendirian ke rumah sakit. Adinda enggan ikut, ia memutuskan untuk menunggu di rumah saja.

Di rumah sakit ia melihat Elena tertidur di kursi tunggu di luar kamar Al. Abah dan Ummi ijin pulang sebentar untuk membersihkan diri dan berjanji akan kembali lagi.

Ibnu menghentikan langkahnya, tidak jadi masuk melihat sosok lelaki menelungkupkan kepalanya di samping Al. Kelihatannya ia pun tertidur.

"Siapa ia?" tanya Ibnu pada salah seorang perawat yang bertugas.

"Oh itu ayahnya, ia kemarin mendonorkan darahnya untuk pasien. Beruntung ia ada kalau tidak ..." perawat itu menggantung kalimatnya.

"Apa maksudmu ayahnya? Aku ayahnya!" tukas Ibnu.

Perawat itu kelihatan bingung lalu pamit tahu diri memutuskan untuk pergi.

Tangan Ibnu terkepal, akhirnya ia bertemu juga dengan lelaki yang memporak-porandakan rumah tangganya. Ia masuk ke dalam, Abu Hamzah terbangun mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh, bangkit dari duduk dan keduanya sama-sama terkejut. Awalnya Abu Hamzah merasa sedikit senang bertemu dengan Ibnu yang sudah dikenal lumayan dekat beberapa bulan terakhir ini. Namun senyumnya sirna menyaksikan kemarahan yang sangat di mata Ibnu.

"Ternyata kau!" seru Ibnu.

BUG! Sebuah pukulan kuat dilayangkan Ibnu, Abu Hamzah menerima pukulan itu dalam keadaan tidak siap. Ia oleng sedikit ke belakang, bibirnya berdarah. Tapi di pukulan kedua Abu Hamzah reflek menghindar, ia sudah berdiri kokoh di atas kuda-kudanya dan berhasil mengendalikan keadaan. Lebih mudah bagi Abu Hamzah untuk mengatasi orang yang sedang dipenuhi amarah. Dengan cepat Abu Hamzah menangkap dan memuntir lengan Ibnu ke arah dalam menyiku sembilan puluh derajat yang memberi rasa sakit yang kuat dari pangkal lengan sampai jari-jemari Ibnu. Abu Hamzah melakukan teknik kuncian sankyo dengan sigap dan tenang. Ia sudah menguasai aikido bertahun-tahun. Lalu perlahan menggiring Ibnu keluar kamar dan mendorongnya sampai terduduk di kursi.

Elena terbangun dan terkejut melihat keduanya, "Hentikan!" seru Elena.

Beberapa orang mulai berkerumun, diantaranya memanggil-manggil petugas keamanan.

"Tolong tenanglah. Maka aku akan melepaskanmu," tegasnya. Perlahan Abu Hamzah mengendorkan kunciannya, Ibnu merasakan rasa sakitnya berangsur berkurang.

"Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Ibnu masih emosi.

"Aku hanya berusaha menolong Al. Mengapa kau begitu marah padaku?" tanya Abu Hamzah sedikit bingung.

"Ia suamiku," tukas Elena singkat.

Abu Hamzah terperangah, kini ia mengerti lelaki ini marah karena cemburu. Ia menatap Ibnu tak percaya, "Aku pikir Adinda istrimu."

"Elena juga istriku!" dengus Ibnu.

Abu Hamzah menoleh ke arah Elena mencari kepastian. Perempuan yang tidak pernah berhenti dicintainya itu mengangguk pelan lalu menunduk dalam-dalam, ia tak berani balas menatap khawatir jatuh lagi dalam pesona pemilik mata biru itu.

Ibnu memperhatikan Abu Hamzah yang terduduk berusaha menetralisir keadaan dan perasaannya. Kentara sekali lelaki itu masih sedemikian dalam mencintai Elena. Dengan penampakan fisik yang sempurna, wajah yang tampan dan cinta yang membara. Ahh... pantas saja jika dulu Elena tidak berhasil menepis pesonanya. Ibnu merasa marah, cemburu dan juga minder bercampur menjadi satu di benaknya.

"Aku menghormati hubungan kalian dan berjanji tidak akan menjadi penghalang. Kecuali jika kau menyia-nyiakannya, aku tidak akan segan merebutnya kembali!" ujar Abu Hamzah setengah mengancam menatap Ibnu tajam.

"Coba saja kalau berani," tantang Ibnu.

"Setidaknya beri aku waktu untuk bersama Al. Bagaimanapun ia darah dagingku," sahut Abu Hamzah melunak.

"Baiklah," Ibnu mengangguk setuju.

"Aku akan kembali besok, mudah-mudahan Al sudah siuman," harap Abu Hamzah lalu bangkit dari duduknya pergi meninggalkan Ibnu dan Elena.

Ibnu menatap Elena dengan pandangan menusuk tajam, lukanya kembali terkoyak. Elena salah tingkah, ia paham betul Ibnu bukanlah suami yang dayyuts. Jika sebelum bertemu dengan Abu Hamzah saja cemburunya sudah tidak terbendung apalagi sekarang. Hati Elena mendadak ciut, teringat salah seorang sahabat nabi bernama Sa'ad bin Ubadah dalam suatu riwayat yang menghunuskan pedang karena cemburu.

"Maaf, Bu, anak Ibu sudah siuman," seorang perawat memecah ketegangan diantara mereka.

"Alhamdulillaah!" ucap Elena penuh rasa syukur, setengah berlari masuk ke dalam kamar.

Al sudah membuka matanya, masih lemah. Elena menciuminya hati-hati sambil berkali-kali mengucapkan Alhamdulillah. Ketika telinga Elena dekat dengan Al, lelaki kecil itu berbisik pelan sekali namun terdengar seperti guntur yang menggelegar di telinga Elena.

"Ibu mana Eugene? Aku belum sempat menceritakan pada Ibu, bahwa sebelum kecelakaan itu aku bermimpi aneh. Eugene adalah ayahku ..."

Elena menarik kepalanya menjauh sedikit dan menatap Al dengan tatapan tak percaya. Al mengangguk meyakinkan.

Ibnu memperhatikan Al dari jauh, tidak saat ini ia belum siap untuk menghampirinya lebih dekat.

※※※

Abu Hamzah duduk di lobi rumah sakit dekat pintu masuk seperti orang bingung. Ia limbung dengan kenyataan yang barusan diterimanya. Dulu sudah pasti ia akan melarikan semua masalahnya ke minuman keras dan merokok berbatang-batang tapi sekarang alasannya semakin kuat untuk tidak kembali melakukan itu semua, bukan cuma karena Al tapi karena Rabb-nya melarang khamr dan bunuh diri. Merokok sama saja dengan merusak badan pemberian Allah dan membunuh diri pelan-pelan.

Tiba-tiba ia melihat dua sosok yang sangat dikenalnya masuk.

"Abah!" panggilnya.

Abah menoleh dan tersenyum pada Abu Hamzah, lelaki itu menyalaminya dan Abah membalas dengan memeluk dan menepuk-nepuk bahu Abu Hamzah.

Ummi Izza menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada dan pamit untuk langsung menemui Elena.

Abah mengajak Abu Hamzah untuk duduk lagi, ia tahu persis lelaki gagah itu sedang membutukan tempat menepiskan gelisah.

"Elena istri Ibnu," gumamnya hampir tak terdengar. "Apakah ia bahagia, Abah?"

"Nak, bahagia itu tak kasat mata. Bahagia itu letaknya di sini," kata Abah sambil menyentuhkan telunjuknya ke dada Abu Hamzah.

"Kau sendiri, apakah merasa bahagia?" tanya Abah lagi. Abu Hamzah terdiam mencoba menganalisa hatinya.

"Bahagia itu ada dekat pada hati yang penuh rasa syukur. Bersyukurlah kini kau mendapat nikmat Islam, masih banyak orang-orang di luar sana bergumul dengan kerusakan karena tidak bertuhan.

Kau terlalu berfokus kepada Elena, aku memahaminya. Tapi sekarang fokuslah kepada Allah saja, belajar mengenali Allah niscaya kau akan menemukan cinta kepada Allah lebih indah daripada kepada makhluk ciptaan-Nya," kata Abah dengan lembut.

"Banyak hal yang aku sesali di masa lalu ..." Abu Hamzah makin menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Ah sudahlah, tidak baik berandai-andai itu hanya akan menjadi celah bagi syetan untuk membujukmu kembali ke masa lalu. Jangan menjadi bagian dari banyaknya orang yang menangisi dan berharap kembali lagi ke masa lalu. Lebih baik mulai detik ini, saat ini juga kau memperbaiki hidupmu sebelum menjadi masa lalu." Abah menepuk-nepuk bahu Abu Hamzah menyemangati.

"Bagaimana agar aku bisa mencintai Allah?" tanya Abu Hamzah.

"Cinta itu lelah, Nak. Tak ada satupun di dunia ini yang tidak didapat dengan usaha, susah payah dan keletihan. Jabatan digapai dengan ketekunan, harta diraih dengan kerja keras bahkan cinta yang dipenuhi syahwat sekalipun tersiksa dengan kerinduan. Betul? Jika untuk urusan dunia saja diperlukan susah payah dan kelelahan apalagi untuk mencapai cintanya Allah.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Meraih sesuatu yang dicintai seringnya harus menanggung sesuatu yang menyusahkan. Baik cinta yang benar maupun cinta yang tidak benar.

Jika kau ingin merasakan cinta kepada Allah maka berlelah-lelahlah mengikuti aturan-aturannya, menjauhi larangan-larangannya. Itu adalah lelah yang penuh berkah.

Percayalah, sebagaimana Ibnul Qoyyim al Jauziah pernah berkata bahwa seandainya kau tahu bagaimana Allah mengatur urusan hidupmu maka pastilah hatimu meleleh karena cinta kepada-Nya," papar Abah menyentuh kalbu Abu Hamzah.

"Istirahatlah, Nak. Kau membutuhkannya," kata Abah bangkit berdiri kemudian pamit pergi.

Abu Hamzah ikut bangkit, ia melangkah keluar rumah sakit. Hampir jam sepuluh malam, ketika ia berjalan menyusuri trotoar dan memutuskan untuk masuk ke sebuah kafe dan restoran yang terdapat di salah satu gedung tidak jauh dari rumah sakit. Ia belum makan, walaupun tak merasa lapar ia tetap harus menjaga kesehatan demi Al. Selintas ia melihat tulisan di pintu masuk 'CLOSED AT 24.OO'. Masih ada waktu untuk makan di tempat.

Ia memilih duduk di sudut yang paling sepi dan tersembunyi dari pengunjung, menikmati hidangannya tanpa bernapsu dengan perlahan.

Tanpa sepengetahuannya, Ibnu pun masuk ke tempat yang sama sambil menggandeng tangan Elena. Ibnu memaksa Elena untuk makan sebelum pulang dan beristirahat, ia yakin istrinya belum menyentuh makanan sejak Al masuk rumah sakit. Abah dan Ummi bergantian menjaga Al, Ibnu berjanji pada Elena akan mengantarkannya kembali ke rumah sakit besok pagi-pagi sekali.

Elena menyuap perlahan nasi goreng seafood yang dipesannya, sesekali meneguk air mineral. Ia jengah dengan tatapan lekat suaminya seperti seorang ayah yang mengawasi anaknya supaya makan. Ibnu sendiri hanya memesan secangkir kopi.

Baru beberapa suap, terdengar denting piano memulai sebuah lagu. Elena dan Ibnu sudah lama meninggalkan musik namun pasti adakalanya mereka dalam posisi sulit untuk menghindar bahkan kadang tanpa sadar menyimak apa yang didengar.

Elena terkesiap begitu mendengar suara yang begitu dekat dikenalnya tetapi tak berani menoleh. Tangannya bergetar berharap Ibnu tak menangkap gelisahnya dan tak menyadari siapa yang menyanyikan lagu dengan diiringi denting piano yang menyayat perasaan.

What would I do without your smart mouth?
[Apa yang bisa kulakukan tanpa mulut cerdasmu?]

Drawing me in, and you kicking me out.
[Memikatku dan kemudian mendepakku.]

You've got my head spinning, no kidding, I can't pin you down.
[Kau membuat kepalaku berputar, tak bercanda, aku tak bisa menenangkanmu.]

What's going on in that beautiful mind?
[Apa yang berkecamuk dalam pikiran indahmu itu?]

I'm on your magical mystery ride.
[Aku berada dalam perjalanan misteri ajaibmu.]

And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright.
[Dan aku merasa sangat pusing, tak tahu apa yang menimpaku, namun aku akan baik-baik saja.]

'Cause all of me, loves all of you.
[Karena seluruhku, mencintai semua yang ada pada dirimu.]

Love your curves and all your edges.
[Mencintai lekuk tubuhmu dan semua sisimu.]

All your perfect imperfections.
[Semua ketidaksempurnaanmu yang sempurna.]

Give your all to me, I'll give my all to you.
[Berikan sepenuh dirimu padaku, aku akan berikan segalanya untukmu.]

You're my end and my beginning.
[Kau adalah akhir dan awalku.]

Even when I lose I'm winning.
[Bahkan saat aku kalah pun, aku menang]

How many times do I have to tell you?
[Berapa kali harus kukatakan padamu?]

Even when you're crying you're beautiful too.
[Bahkan saat kau menangis kau tetap saja cantik.]

The world is beating you down, I'm around through every mood.
[Dunia sedang mengujimu, aku akan ada melalui suasana hati apapun.]

You're my downfall, you're my muse.
[Kau adalah kehancuranku, kau adalah inspirasiku.]

My worst distraction, my rhythm and blues.
[Pengalih perhatian terburukku, irama dan laguku.]

I can't stop singing, it's ringing, in my head for you.
[Aku tak bisa berhenti bernyanyi, terus bergema, di kepalaku untukmu.]

🍁🍁🍁  Bersambung  🍁🍁🍁

Kesimpulan Novel Elena Part 22

Bagaimana part 22 nya, saya yakin Novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya bagian part berikutnya. Silahkan klik navigasi di bawah ini untuk pindah ke part berikutnya.

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url