Novel Elena (Part 19) - Baca Gratis Disini

Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next  Tere Liye. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404

Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 19

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Baca Novel Elena Part 19 Di Sini Sekarang

Dua minggu setelah pernikahan, selepas Isya Elena dan anak-anak bersiap untuk dijemput dari pondok untuk pulang ke rumah mereka bersama Ibnu.

Sebuah mobil berhenti, di depan pondok.

"Ayah!" seru Maryam menghambur keluar menyambut Ibnu. Tapi sesaat kemudian senyumnya pudar melihat Ibnu datang tidak sendirian tetapi juga bersama Adinda.

Novel Elena
Part 19

"Assalamualaykum, sudah siap?" tanya Ibnu sambil merentangkan tangannya siap menerima Maryam tetapi gadis kecil itu urung memeluknya dan masuk ke dalam lagi.

Elena keluar menggendong Al, satu tangannya menjinjing sebuah tas berisi perlengkapan bayi. Tatapannya bertanya-tanya, dalam hati separuh tidak terima, 'Mengapa Adinda ikut serta?'.

"Adinda belum terbiasa sendirian, jadi untuk sementara waktu terpaksa aku bawa," jelas Ibnu seolah memohon pengertian Elena.

Elena tidak merespon, ia mencium tangan Ibnu menyalami Adinda dan mencium pipinya kanan kiri. Elena ingin marah tetapi 'ah sudahlah' bisiknya dalam hati mengalah.

Mereka langsung pamit pada Abah dan Ummi, ketika masuk ke dalam mobil Adinda bersikeras duduk di kursi depan bersama Ibnu. Elena diam menahan sebal. Akhirnya Ibnu memutuskan keduanya duduk di belakang dan Maryam yang duduk di depan.

Adinda berkeliling ke setiap sudut rumah, "Rumah ini lebih besar dari rumah yang aku tempati."

Ibnu menghela napas, "Elena tinggal bersama anak-anak wajar jika rumahnya lebih besar. Lagipula, lebih kecil dari rumah ini saja kau ketakutan ditinggal sendirian kan? Apalagi lebih besar. Sudahlah."

Adinda mendengus, "Aku tidur di mana?"

"Ada kamar tamu di samping kamar Maryam," sahut Elena.

"Tapi kau tidur bersamaku kan?" Adinda menggelayuti tangan Ibnu manja.

Melihat pemandangan itu Elena merasakan perutnya mual, ia ngeloyor masuk kamar. Begitupun Maryam, ia masuk ke dalam kamarnya kemudian menutup pintu. Sayup-sayup Elena mendengar Ibnu berbicara pada Adinda.

"Dinda, aku mohon jaga sikapmu. Aku harus  adil, ini rumah Elena. Sekarang giliran Elena dan aku akan tidur di kamarnya."

Dengan cemberut Adinda masuk ke kamar tamu, setengah dibanting ditutupnya pintu. Ibnu menggeleng-geleng, betapa kenakan-kanakkannya.

Elena baru saja menidurkan Al di box bayi ketika Ibnu masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur. Diperhatikannya Elena dengan seksama, terlihat jauh lebih kurus dari terakhir ia melihatnya di masjid. Pastilah dua minggu pertama yang luar biasa berat bagi Elena, bahkan Ibnu nyaris tak mempunyai kesempatan untuk menghubunginya. Adinda menguasainya.

"Duduklah di sini," pinta Ibnu sambil menepuk-nepuk sisi sebelahnya.

Elena menurut, ia duduk di samping Ibnu dan membiarkan lelaki itu membantunya membuka kerudung panjang yang ia kenakan. Ibnu mengelus rambut sepinggang Elena yang panjang lurus hitam legam, harum lembut tercium dari sana. Elena membalas tatapan Ibnu, belum pernah hatinya sekacau itu. Bagaimana ia bisa merasakan cinta dan benci, rindu dan tak ingin bertemu, bersamaan hadir dalam satu waktu.

"Apa kabarmu?"

"Alhamdulillaah aku baik-baik saja."

"Aku rindu padamu dan Maryam. Ceritakan padaku tentang kalian dua minggu terakhir ini," ujar Ibnu kembali meminta.

Elena tersenyum tipis lalu mulai bertutur panjang tentang aktifitasnya dan anak-anak, sesekali Ibnu tertawa kecil mendengar Elena menceritakan tingkah laku Maryam. Kemudian bertukar kabar mengenai orangtua masing-masing. Sejauh ini belum banyak kemajuan. Orangtua Elena masih marah padanya dan tak mau bertemu. Begitupun orangtua Ibnu kepada Elena. Ia memasrahkan semuanya kepada Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, berharap waktu akan mengobati semua luka dan mereka semua menerimanya dengan lapang dada. Elena dan Ibnu berbincang sampai jauh malam sementara di luar kamar Adinda bolak-balik gelisah melihat Ibnu dan Elena tidak kunjung keluar.

Kehadiran Adinda di rumah Elena ibarat duri dalam daging. Elena risih melihat perempuan itu hampir selalu menempel lekat kepada Ibnu. Memborong semua tugasnya sebagai istri di depan matanya, mulai menyendokkan nasi sampai menyiapkan air mandi. Elena menahan diri meski dalam hati ingin sekali memaki. Tetapi Ibnu sedikit mengobati kekesalannya. Pada saat Adinda memaksa agar ia saja yang membuatkan teh manis untuk suami mereka, Ibnu malah melayani Elena dengan menyeduhkan kopi dan mengoleskan selai strawberry di atas roti. Adinda cemburu berat.

Adinda senang sekali belanja, seringkali datang paketan untuknya. Entah apa yang ia beli, Elena tak pernah ingin tahu. Tetapi ia kurang menyukai kebiasaan Adinda yang menghamburkan uang dengan kurang bijaksana.

Suatu malam, Elena bangun untuk sholat sunnah. Ia tak menemukan Ibnu di sampingnya. Ia berusaha berbaik sangka, mungkin Ibnu sedang mengambil sesuatu karena haus atau lapar. Tapi sampai subuh hampir menjelang Ibnu belum kembali ke kamar.

Elena beranjak ke dapur untuk menyiapkan bekal Maryam ketika ia berpapasan dengan Ibnu dan Adinda bersamaan, keduanya keluar dari kamar tamu dengan rambut basah.

Tanpa berkata apa-apa Elena melewati keduanya seolah menganggap mereka tak ada. Dalam hatinya dongkol tak terkira.

"Jika memang kau belum bisa meluangkan waktu untukku, sebaiknya tak usah pulang dulu. Aku tidak nyaman melihat Adinda di rumah ini," kata Elena ketika berkesempatan bicara pada Ibnu berdua.

"Kau cemburu ya?" goda Ibnu.

Elena hanya melirik sekilas tanpa tersenyum, rasanya ia ingin berteriak menjawab 'Bukan cemburu tapi muak!'.

Hari-hari setelah itu menjadi terasa lebih panjang menyiksa. Butuh waktu lumayan lama sampai akhirnya Adina bersedia tidak ikut serta ketika Ibnu bergilir ke rumah Elena. Itupun Adinda gencar menelepon berkali-kali dalam sehari. Elena hanya bisa mengelus dada.

"Elena, bagaimana menurutmu jika kita mulai mencoba berkonsultasi dengan para ahli untuk membantu memecahkan masalah kita?" tanya Ibnu suatu kali, ia teringat nasehat Abah.

"Apa maksudmu? Masalah apa?" Elena balik bertanya, ia berharap semoga ini tidak berkaitan dengan Adinda. Ia malas berurusan dengannya.

"Konseling seksologi ..." jawab Ibnu hati-hati.

Muka Elena bersemu merah, sudah terlalu lama ia merasakan dan memikirkan yang satu itu hingga ia merasa malu.

"Aku tak tahu, perlukah?" Elena balik bertanya.

"Menurutku begitu. Aku akan mencari rekomendasi dan menjadwalkannya untuk kita," Ibnu mengambil keputusan.

"Baiklah," Elena masih tersipu.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hitungan tahun berlalu begitu berat dan menyiksa dengan ketidakberpihakkan takdir baik pada Elena. Adinda kerap mengganjal usaha Ibnu memperbaiki hubungannya dengan Elena. Tak ada kemajuan, serasa percuma.

Suatu malam Ibnu mengumpulkan semuanya untuk mendiskusikan sesuatu.

"Pertumbuhan populasi muslim meningkat pesat di Kanada, ini membuka peluang besar untuk usaha busana muslim dan muslimah kita. Beberapa temanku dan relasi Abah sewaktu dulu pernah tinggal di Kanada, mengajak kita bekerjasama membuka sebuah toko di sana. Untuk itu akan lebih fokus bekerja dan menghemat biaya jika sementara waktu aku tinggal di sana. Aku akan pulang satu atau dua kali dalam setahun," terang Ibnu Panjang.

"Aku ikut!" seru Adinda melonjak senang dengan mata berbinar.

Elena dan Maryam tak bersuara.

"Aku tak bisa hanya mengajak salah satu dari kalian. Pilihannya adalah berangkat sendirian atau berangkat semua berlima sekalian," kata Ibnu sambil melirik Elena dan Maryam.

Yang terlintas pertama kali di kepala ketika nama negara itu disebut adalah Eugene. Tidak, bagaimana jika suatu saat mereka dipertemukan di sana? Ia khawatir keimanannya belum seberapa untuk bisa tetap berdiri istiqomah dalam hijrah.

Belum lagi jika harus berinteraksi dengan Adinda setiap hari, 'Duh apa belum cukup berat yang aku hadapi sekarang ini?' tanyanya dalam hati.

"Maaf mas, rasanya aku berat jika harus ikut serta ..." ujar Elena pelan.

"Aku ikut Ibu!" sahut Maryam cepat sambil berpindah duduk dekat Elena.

"YES!" Adinda tak kuasa menahan senang hatinya. Ibnu memandangnya tajam dengan tatapan tak suka.

"Mana bisa begitu?" sanggah Ibnu, bagaimanapun berat meninggalkan Elena.

"Biaya hidup di sana akan semakin besar dengan membawa kami semua. Jangan khawatir kami akan saling menjaga, ya kan Maryam?" tanya Elena sambil memeluk Maryam. Gadis itu mengangguk cepat sambil tersenyum lega.

Ibnu mendesah, belum apa-apa ia merasa kehilangan keduanya. Sejenak ingatannya kembali pada masa-masa bahagia jauh sebelum kehadiran Adinda. Kini ia merasa begitu jauh untuk merengkuh hati keduanya. Maryam pun kini lebih dekat dengan Elena. 'Apakah aku benar-benar tidak sadar telah melepaskan mereka?'

"Baiklah, jika begitu kami akan berusaha lebih cepat pulang. Untuk menjenguk kalian dan mengecek toko-toko kita di beberapa kota lainnya. Ini tidak akan lama hanya beberapa tahun saja, setelah toko di Kanada dibuka dan bisa beroperasi dengan baik kami akan segera kembali lagi tinggal di Jakarta." Ibnu akhirnya menyerah dengan keputusan Elena dan Maryam.

"Kurang lebih dua tahun lagi Maryam akan lulus sekolah dasar. Semoga kalian sudah kembali lagi ke sini," tutur Elena berharap Ibnu nanti tidak melupakan masa-masa peralihan Maryam menjadi remaja. Ia butuh figur ayah yang membuatnya bangga dan nyaman.

"Insyaa Allah, doakan semua berjalan lancar."

Di hari yang dijadwalkan, mereka semua melepas keberangkatan Ibnu dan Adinda. Termasuk Abah Ummi dan Mami Papi yang masih acuh tak acuh pada Elena.

Ibnu memeluk semua satu demi satu, terakhir Elena paling lama. Ibnu seperti ingin memberikan kekuatan pada Elena tapi kemudian ia tersadar betapa Elena sekarang sudah begitu tegar dan bahkan lebih kokoh darinya. Buktinya tetap tak ada airmata ...

Maryam juga dipeluk lama, Ibnu sendiri merasa bahwa Maryam akan lebih nyaman dan bahagia bersama Elena.

Pesawat terbang meninggi meninggalkan bandara. Elena berpamitan kepada kedua mertuanya dan kembali pulang ke pondok Abah dan Ummi. Ya, mereka akan lebih sering tinggal di sana sekarang.

Malam itu Elena berbincang ringan dengan Abah dan Ummi. Al dan Maryam sudah lama terlelap.

"Bagaimana hubunganmu dengan Ibnu, Nak?" tanya Ummi lembut.

"Belum banyak yang berubah malah semakin parah dengan kehadiran Adinda. Perempuan itu lebih lengket daripada perangko, menempel terus." Elena menjawab setengah bercanda, menghibur diri.

"Elena, jika kau merasa terdzolimi dan hendak mengajukan khulu insya Allah alasanmu sudah cukup kuat dan syar'i," ucap Abah tak tahan melihat penderitaan Elena yang sudah dianggapnya anak sendiri.

Elena menundukkan kepala dalam-dalam, seperti sedang membelai setiap luka yang tertoreh. Perih. Airmatanya seperti sudah habis, tahun-tahun belakangan ini ia tak pernah lagi menangis.

"Insyaa Allah aku akan bertahan kecuali mas Ibnu yang menceraikanku dahulu. Dosaku ini tak terhitung banyaknya. Amalku cacat tak sempurna. Ibadahku juga tak seberapa. Pernikahan ini, barangkali bisa menjadi tabungan pahala untukku. Bukankah setiap usaha bahkan yang terkecil sekalipun seperti mengambilkan segelas air minum untuk suami terhitung ibadah? Aku sungguh berharap dengan semua ujian ini Allah ridha dan berkenan menarikku ke dalam surga-Nya.

Lagipula selalu ada kebaikan di setiap ujian bahkan pada saat terdzalimi sekalipun. Bukankah doa orang yang terdzalimi itu diijabah? Jadi aku punya banyak kesempatan untuk berdoa yang baik-baik saja. Karena doa itu ibarat bola yang akan memantul kembali kepada pemiliknya."

Airmata Ummi Izza menetes tak kuasa menahan haru ia memeluk Elena, "Pahalamu sesuai kadar lelahmu. Segala cobaan hidup ini sebenarnya bukan untuk menguji kekuatan jiwa namun untuk menguji seberapa kuat kita dalam meminta pertolongan Allah. Barakallaahu fiik, anakku."

Abah masuk sebentar lalu keluar lagi membawa sebuah buku dengan ukuran besar dan tebal. Ia memberikannya pada Elena.

"Ini Al Quran Tafsir lengkap dengan tadabbur, intisari hadits dan asbabun nuzul. Mulai besok kau ikut belajar lebih dalam tentang Al Quran dengan para santriwati. Bukan cuma belajar tahsin dan tahfidz.

Belajar Quran itu tiada habisnya. Orang yang dekat dengan Al Quran, meski baru belajar a ba ta tsa maka ibarat dekat dengan lampu. Artinya apa? selalu terang. Terang urusan dunia dan akhiratnya. Itulah arti dari 'hasanah'.

Jadi tahu mengapa mesti meminta hasanah? Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah? Dekatlah dan bacalah Al Quran, karena satu hurufnya dibalas dengan sepuluh 'hasanah' ... kebaikan.

Allah itu memegang kunci jawaban dari semua masalah, makanya jangan jauh-jauh dari Allah. Dan Al Quran itu kalamullah penyembuh dari segala sakit dan hati yang luka sekalipun parah."

Elena ikut masuk dalam haru. Ia mengangguk setuju. Dalam hatinya berikrar untuk menjadi sebaik-baik manusia, yaitu yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.

Sejak itu Elena banyak menghabiskan waktunya dengan Al Quran. Dalam dua tahun Ibnu hanya baru dua kali pulang, itupun hanya sebentar karena harus berbagi waktu dengan mengunjungi beberapa kota lainnya. Elena tidak berkeberatan, hari-harinya disibukkan dengan hapalan dan mentadabburi Al Quran.

Al sudah kelas satu sekolah dasar, Elena menitipkannya di yayasan yang dikelola Ummi Izza. Sedang Maryam mulai menginjak remaja, selesai sekolah dasar ia masuk salah satu pesantren tahfidz yang direkomendasikan oleh Abah dan Ummi.

※※※

<Kembali ke masa sekarang>

Elena mengajak Al ke bandara untuk menjemput Ibnu dan Adinda dari Surabaya. Ya, dari Kanada Ibnu langsung ke Surabaya dulu untuk mengurus keperluan toko selama dua hari. Lalu baru ke Jakarta untuk bertemu Elena dan anak-anak. Setelah itu rencananya akan menjenguk Maryam di pesantren dan mengajak mereka semua ke Bandung untuk mengecek toko lainnya sekalian bersilaturahmi dengan Mama Papa.

Baru saja turun dan membayar ongkos taksi, sebuah tangan kekar menahan tangan Al. Harum tubuh dari masa lalu yang masih sangat ia kenal.

"Eugene!" Al bersorak girang.

Lagi, Elena merasakan lemas setiap berada dekat dengan lelaki itu. Lagi, tulangnya serasa diloloskan satu-satu.

"Hello top guy, ijinkan aku berbicara sebentar dengan ibumu ya." Eugene masih menggenggam tangan Al yang tersenyum lebar. Apapun yang dikatakan Eugene, Al tak mengerti yang ia tahu ia merasa senang bertemu dengannya.

"Elena, maafkan aku telah membuatmu sesakit itu. Aku mohon." Eugene menatap Elena dengan sepenuh harap dan rindu.

Elena melihat seorang gadis dari kejauhan berlari-lari kecil menghampiri mereka. Perempuan yang sama di kedai seafood waktu itu.

"Dengarkan. Kau tak akan bisa menyakitiku, sebagaimana engkau tak akan bisa membahagiakanku. Karena kebahagiaanku ada dalam hatiku. Dan hatiku hanya Rabb ku yang memilikinya." sahut Elena sekilas menatap balik mata Eugene lalu berpaling tak kuasa. Ditariknya tangan Al dari Eugene lalu berlalu menjauh.

"Elena! Kenalkan aku pada Rabb mu!"

Elena berhenti sejenak. Menoleh lalu berkata, " Bukankah kau mengagungkan pengetahuan yang kau miliki? Maka carilah sendiri dengan akalmu!"

🍁🍁🍁  Bersambung  🍁🍁🍁

Kesimpulan Novel Elena Part 19

Bagaimana part 19 nya, saya yakin Novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya bagian part berikutnya. Silahkan klik navigasi di bawah ini untuk pindah ke part berikutnya.

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url