Novel Elena (Part 18) - Baca Gratis Disini

Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next  Tere Liye. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404

Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 18

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Baca Novel Elena Part 18 Di Sini Sekarang

"Ibuku bernama Elena, bukan Adinda. Aku tak suka padanya!" Maryam tiba-tiba berteriak marah, membalikkan badan lalu berlari menjauh.

"Maryam! Tunggu, Nak!" Elena terseok mengejar, larinya tak segesit Maryam dengan Al di gendongan dan gamis yang lebar.

Elena menemukan Maryam, jongkok dibalik dinding kelas. Airmatanya berurai. Elena ikut jongkok di sebelahnya, Al sibuk berusaha menggapai kerikil-kerikil kecil di dekat kakinya tapi sia-sia.

Novel Elena
Part 18


"Maryam, shalihah ... ada apa?"

"Aku tak menyukainya."

"Kenapa?"

"Aku pernah bertemu sekali dengannya. Ia tak menyukaiku, katanya aku berisik."

"Pertama kali kita bertemu, kau juga tak menyukaiku. Tetapi lihat sekarang kita sahabat dekat. Kita hanya perlu sedikit waktu untuk mengenalnya, tak kenal maka tak sayang.

Maryam, selama kita hidup kita akan selalu dipertemukan dengan orang-orang baru yang tidak semuanya menyukai kita atau bahkan sebaliknya kita tidak menyukai mereka. Tapi bukan berarti kita bebas berlaku apa saja.

Berlaku baik kepada orang-orang yang menyukai kita itu sudah seharusnya. Tapi tetap berlaku baik kepada orang yang tidak menyukai kita, itulah akhlak baik yang dicontohkan nabi kita Muhammad shalallaahu alaihi wassalam."

Elena mengelus kepala Maryam sambil terus mengawasi Al, ia mulai kewalahan dengan tingkah Al dan akhirnya ia pasrah meletakkannya duduk di tanah. Al berceloteh kegirangan, akhirnya ia berhasil mengais benda yang dari tadi membuatnya penasaran.

"Aku ... cuma ingin punya satu ibu," akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibir gadis kecil.

Usia Maryam sekarang hampir delapan tahun, masih terlalu muda untuk mengerti rumitnya hubungan yang bernama suami istri. Keadaanlah yang memaksanya untuk belajar bersikap dewasa sebelum waktunya. Elena memeluk Maryam, hatinya pedih.

"Maryam, terkadang Allah menjadikan orang-orang terdekat di sekitar kita untuk menjadi ujian bagi kita. Dan terkadang kitalah yang menjadi ujian bagi mereka. Ujian itu ibarat ulangan kenaikan kelas. Suka tak suka, siap tak siap kau harus menghadapi dan mengerjakannya. Kadang kita gagal dan harus mengulang kembali tetapi kalau kita lulus berarti Allah menaikkan derajat kita satu tingkat. Setiap tingkat seperti meniti anak tangga sampai ke surga-Nya. Kau tak maukah kau masuk surga?" Elena membujuk Maryam panjang lebar, Maryam anak cerdas ia yakin paham apa yang ia sampaikan.

"Baiklah," kata Maryam bangkit berdiri diikuti Elena.

Elena membersihkan kedua tangan Al dengan tissu basah, Al puas bermain kerikil dan tanah.

Adinda masih duduk di kantin dengan perasaan sebal. 'Anak kecil itu rupanya pintar bermain drama', sungutnya dalam hati. Adinda merasa beruntung Ibnu tak menaruh curiga mengapa ia mau dijadikan istri kedua. Apalagi kalau bukan karena ia tak ingin repot mengurusi Maryam. Biar Elena yang urus dan ia bisa berdua saja dengan Ibnu.

"Ayo salaman," perintah Elena dengan lembut. Maryam menyodorkan tangannya lebih dulu, disambut dingin oleh Adinda. Lalu sudah, Maryam bahkan tidak mencium tangan Adinda. Elena memaklumi butuh waktu lebih dari enam bulan sampai akhirnya Maryam pun mau mencium tangannya.

"Kita pulang saja," ajak Adinda. Elena mendesah menyayangkan sikap Adinda yang tidak berusaha ramah kepada Maryam.

"Maryam mau makan bakso dulu?" tanya Elena.

"Aku sudah tak lapar lagi," sahutnya cepat.

"Dibungkus saja ya, makan di rumah." Elena memberi solusi. Ia beranjak memesan satu porsi untuk dibawa pulang dan sekalian membayar semuanya.

Maryam menatap lekat Adinda dengan tajam sementara yang ditatap acuh tak acuh pura-pura tidak tahu.

Elena menyetop taksi, sepanjang perjalanan tak ada percakapan diantara mereka. Pernah sekali Elena mencoba memecah keheningan dengan bertanya kepada Maryam tetapi kemudian Maryam menjawab dengan pelan, "Ibu aku sedang tak ingin bicara".

Setelah mengantar Adinda pulang ke hotelnya, mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Adinda memang sengaja datang ke Jakarta untuk fitting baju pengantin dan beberapa keperluan lainnya termasuk berkenalan dengan Maryam. Selama itu Elena yang menemaninya mengurus segala sesuatu.

Pernikahan akan dilangsungkan di Jakarta, pekan depan.

※※※

Di sebuah masjid Elena duduk di antara Ummi Izza dan Maryam sambil menggendong Al. Akad nikah akan dilaksanakan sebentar lagi.

Ummi Izza sesekali menepuk-nepuk paha Elena, berusaha menguatkan. Elena membalas tepukan itu dengan tersenyum getir.

Sudah lewat lima menit dari waktu yang ditentukan, ijab qabul belum juga dilaksanakan. Pak penghulu mulai bertanya kepada pihak keluarga, dimana pengantin pria? Sekilas Elena melihat ada Mami dan Papi juga di barisan depan sana, ah mereka pun merestuinya. Ada abah juga yang akan memberikan nasehat pernikahan.

Elena menyerahkan Al pada Ummi Izza, "Ummi, titip Al dan Maryam. Aku mau ke kamar kecil sebentar."

Ummi Izza menatap Elena ragu, "Kau tak apa-apa?"

Elena menggeleng sambil tersenyum mencoba menenangkan. Akhirnya Ummi Izza mengangguk.

Elena berjalan ke arah kamar kecil ketika tiba-tiba tangannya ditarik masuk ke sebuah lorong masjid.

"Mas Ibnu!"

Ibnu tidak menjawab, ia mencium kepala Elena berkali-kali dan memeluknya erat. Napasnya tersengal, Ibnu terisak tertahan. Elena balas memeluk pinggang Ibnu, lalu diusap punggungnya. Baru kali ini sepanjang pernikahannya ia melihat Ibnu menangis. Elena merasa pilu tetapi tidak setetes airmatapun menetes karenanya.

"Maafkan aku, Elena. Maafkan aku ..."

"Aku insya Allah ridha, Mas. Aku insya Allah baik-baik saja."

"Aku ragu, Elena. Aku takut mengambil keputusan yang salah . Menurutmu aku harus bagaimana?"

Elena menghela napas berat. Saat ini bisa saja ia mempengaruhi Ibnu yang sedang goyah pendiriannya. Tapi ia tak ingin harga diri suaminya jatuh di depan orang banyak dan menjadi bahan gunjingan lebih parah dari sekarang.

"Terlambat untuk meminta pendapatku sekarang, Mas." Elena melepaskan pelukan Ibnu lalu menggandengnya mendekat ke sebuah tirai, disibaknya sedikit hingga mereka berdua bisa melihat ke dalamnya.

"Lihatlah, itu orangtua Adinda, orangtuamu, Abah, Ummi, dan orang-orang yang datang memenuhi masjid untuk mendoakanmu. Jangan lupa, Adinda ada di dekat sini menunggu untuk disandingkan denganmu. Jika kau tak menampakkan diri, bukan cuma harga dirimu yang hancur tapi hati-hati mereka pun terlukai.

Bersikaplah ksatria, seperti dirimu yang biasa. Selalu ada konsekuensi dari sekecil apapun keputusan. Jangan khawatir, selama kau masih berada di jalan Allah selama itu pula aku akan selalu berusaha ada untuk mendukungmu."

Elena meraih tangan Ibnu, menciumnya dengan takzim. Tapi ia hampir-hampir tak bisa merasakan apa-apa.

Ibnu kembali memeluk Elena, sekali lagi diciumnya ubun-ubun, kedua pipi dan mengecup ringan bibir Elena. Tetiba ia merasakan Elena sekarang jauh lebih shalihah ketimbang dirinya.

"Pergilah ..." Suara Elena hampir tak terdengar. Ibnu mengangguk dan bergegas menyusuri lorong masjid kemudian masuk dari salah satu pintunya. Terdengar namanya dipanggil beberapa kali dari pengeras suara.

Elena tersandar di dinding lorong masjid, tubuhnya melorot ke bawah. Sosok yang barusan terlihat tegar itu sekarang mendadak lemah. Hatinya memanggil Rabb-nya, lirih di panjatkannya doa.

Rabbisy rahlii shadrii [ya Rabb lapangkanlah dadaku].
Wa yassirlii amrii [dan mudahkanlah untukku urusanku].
wa laa tu 'assir [dan janganlah menghadapi kesulitan].
Rabbi tammim bil-khairi [Tuhanku, sempurnakan segala urusan ini dan jadikan kebaikan yang sempurna].
aamiin.

Elena urung ke kamar kecil, dari awal memang ia hanya mencari alasan untuk keluar dari masjid. Khawatir tak sanggup menyaksikan prosesi akad nikah suaminya dan Adinda. Tapi kini ia berhasil bangkit dan melangkah masuk ke dalam masjid dengan mantap.

Bismillah!
Allahu ma'i [Allah bersamaku].
Allahu hadiri [Allah hadir di dekatku].
Allahu nadhiri [Allah melihatku].
Allahu syahidi [Allah menyaksikanku].
Allahu qaribun minni [Allah dekat denganku].

Elena berhasil tabah menyaksikan prosesi ijab qabul, lagi tanpa setetespun airmata.

Abah menyampaikan nasehat-nasehat pernikahan tentang hak dan kewajiban suami kepada istri, begitu pun sebaliknya. Sebagian besar dari ceramah itu Elena sudah pernah mendengarnya. Tapi di bagian akhir, Elena merasa Abah seperti sengaja sedang menasehatinya.

Untuk suami, “Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka sikapilah para wanita dengan baik.”

Untuk istri, bersabarlah jika diuji dengan suami kalian. Ingatlah kesabaran Asiah, Fir’aun menyiksanya & bahkan membunuhnya. Doa terakhir Asiah diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Dia tidak meminta Fir’aun diadzab. Dia hanya meminta imbalan atas kesabarannya 'ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga ...'.

Ingat juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya selama dalam ketaatan kepada Allah, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.'

Hanya wanita yang diberikan keistimewaan sedemikian dahsyat. Bayangkan saja sementara orang lain dipanggil dari pintu surga berdasarkan amalannya, para istri shalihah ini dipanggil dari semua pintu dan berhak milih masuk dari pintu mana saja. Masyaa Allaah ...

Maka sekali lagi bersabarlah para istri karena suamimu adalah pintu terdekat menuju surga."

Dengan tegar Elena memberikan selamat kepada suaminya dan Adinda. Beberapa orang ikut menyalaminya dengan tatapan iba tetapi keramah tamahannya kepada para tamu undangan seolah menjawab 'Aku baik-baik saja' mengundang decak kagum.

Elena memutuskan untuk melewatkan acara resepsi. Berlima bersama Abah dan Ummi Izza, mereka pamit untuk pulang lebih awal. Ibnu menatap Elena dengan pandangan Nanar sementara Elena mengalihkan matanya memandang ke arah lain.

※※※

Di rumah Abah, hampir tengah malam Al dan Maryam sudah terlelap. Elena tidak bisa tidur, gelisah. Ia tidak ingin memikirkannya tetapi bayangan suaminya dan Adinda melakukan malam pertama memburunya. Ditepiskannya dengan istighfar. Diambilnya air wudhu kemudian shalat dua rakaat.

Ummi Izza melihat pintu kamar terbuka dan lampu masih menyala. Diintipnya Elena masih terjaga, baru selesai shalat.

"Assalamualaykum ..." Ummi Izza mengetuk pintu perlahan lalu masuk.

"Wa alaykumsalam ..."

Ummi Izza duduk di sebelah Elena, pangkuannya terbuka. Elena merebahkan kepalanya kepada pemilik pangkuan dengan hati terluas di dunia dari semua orang yang pernah ia kenal dalam hidupnya.

"Nak, kalau kau merasa ingin marah, didzalimi, disakiti, serahkan saja semuanya pada Allah, Dia sebaik-baik pemberi balasan. Semua akan mendapat balasan-Nya, kalau tidak di dunia pasti di akherat.

Dunia memang tempat ujian, bukan tempat balasan amal perbuatan. Jadi terus bersabarlah.

Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan 'Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran yang kau jalani yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit'.

Jadi Nak, Ishbiruu washaabiruu waraabithuu, bersabarlah kau dan kuatkanlah kesabaranmu.

Ishbiru, bersabarlah. Washasbiru, dan lipatgandakan kesabaran. Waraabitu, dan istiqamahlah dari sabar yang pertama dan sabar yang kedua.

Allah sampai tiga kali meminta kita memantapkan kesabaran kita, karena apa? Karena pahala sabar itu tanpa batas."

Elena beristighfar, disandarkannya harapan hanya kepada Allah. Memasrahkan semua urusannya. Yang ia inginkan saat ini hanya belajar taat.

Sementara di bagian kota yang lain, di sebuah kamar hotel bintang lima. Ibnu juga tak kalah memikirkan Elena. Ia merasa bersalah, terbesit iba mengingat kesungguhan hijrah Elena dan ketaatannya pada Allah dan ia, suaminya.

Namun perasaan itu kalah, ketika melihat Adinda keluar dari kamar mandi dan menghampirinya dengan menggoda. Hampir saja Ibnu lupa segalanya, akhirnya ia berhasil mengendalikan dirinya dan mengajak Adinda untuk shalat sunnah dua rakaat sebelumnya. Ibnu meletakkan tangannya di ubun-ubun Adinda lalu membacakan doa. Kemudian terbayarlah apa yang selama ini terpendam dalam hasratnya.

🍁🍁🍁  Bersambung  🍁🍁🍁

Kesimpulan Novel Elena Part 18

Bagaimana part 18 nya, saya yakin Novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya bagian part berikutnya. Silahkan klik navigasi di bawah ini untuk pindah ke part berikutnya.

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url