Novel Elena (Part 23) - Tamat

Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next  Tere Liye. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404

Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 23

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Baca Novel Elena Part 23 Di Sini Sekarang

Elena terkesiap begitu mendengar suara yang begitu dekat dikenalnya tetapi tak berani menoleh. Tangannya bergetar berharap Ibnu tak menangkap gelisahnya dan tak menyadari siapa yang menyanyikan lagu dengan diiringi denting piano yang menyayat perasaan.

Novel Elena
Part 23


"Aku mau ke toilet dulu," kata Ibnu.

"Baiklah," sahut Elena.

"Jangan ke mana-mana," kata Ibnu lagi.

"Ya," jawab Elena pendek.

"Jangan macam-macam," tegas Ibnu.

Elena mengangguk, serba salah menghadapi sikap suaminya.

"Elena, kau tidak akan pergi meninggalkanku kan?" tiba-tiba pertanyaan itu begitu saja meluncur dari bibirnya.

Tangan itu meraih jemari Elena dalam genggamannya, mencoba mencari jawaban atas kegelisahannya. Elena memperhatikan tangan Ibnu yang sudah melewati begitu banyak cerita, tangan yang rajin menyentuh kepalanya dengan doa, tangan yang pernah terluka berdarah karena cemburu, tangan yang baru saja menjadi ksatria yang mempertahankan miliknya, 'Elena istriku', katanya.

"Aku di sini," tukas Elena.

Ibnu mengecup kepala Elena sekilas lalu berjalan terburu-buru. Elena memejamkan matanya, ia seperti bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi akan sangat mencurigakan jika ia melarang Ibnu ke toilet.

Belum habis sepuluh hitungan, Ibnu kembali lagi ke meja. Terburu-buru mengeluarkan uang dari dompet dan menyelipkannya di bawah cangkir kopi.

"Kita pulang sekarang," putus Ibnu, menggandeng erat tangan Elena keluar dari tempat itu masuk ke dalam mobil kemudian melaju pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, hanya hening diantara keduanya. Sesekali Ibnu memukul-mukul setir, Ibnu terlihat kacau sekali. Tiba-tiba Ibnu menghentikan laju mobilnya.

"Apakah kau masih mencintainya?" tanya Ibnu perih.

Elena menoleh, tidak siap dengan pertanyaan itu. Ditatapnya Ibnu yang juga sedang menatapnya, pandang keduanya bertemu. Sama-sama terluka.

"Aku mencintaimu," jawab Elena sambil menyentuh tangan Ibnu dan menciumnya takzim

Ibnu merasa tidak puas, itu bukan jawaban dari pertanyaannya. Tetapi ia tak sampai hati mencecar Elena dalam situasi kondisi seperti ini.

"Aku mendengar dia menyebut nama Adinda, apakah kau pernah bertemu sebelumnya?" tanya Elena takut-takut.

"Ya, kebetulan saja. Kami bertemu di masjid, ia sedang mencari tahu tentang Islam. Ia beberapa kali bertamu ke apartemen dan sekali aku perkenalkan pada Adinda," jawab Ibnu jujur. Ia melirik penasaran akan respon Elena. Tetapi raut perempuan itu terlihat biasa-biasa saja.

Hati Elena berdesir mendengarnya, ternyata ia bersungguh-sungguh mencari tahu tentang Rabb-nya. Elena berusaha menutupi perasaannya supaya Ibnu tak melihatnya.

Keduanya melanjutkan lagi perjalanannya ke rumah.

※※※

Pagi-pagi Abu Hamzah sudah datang ke rumah sakit. Tangannya penuh membawa hadiah kejutan untuk Al. Dan ia sendiri mendapat kejutan dari Allah melihat Al sudah siuman.

"Assalamualaykum. Alhamdulillah jagoanku sudah bangun," untuk pertama kalinya terucap salam dan syukur dari bibir Abu Hamzah.

Abah yang menemani Al menjawab salam dan menyambut kedatangan Abu Hamzah dengan hangat.

"Mana Ummi," tanya Abu Hamzah.

"Sedang mencari sarapan di luar. Duduklah," jawab Abah sambil mempersilahkan.

Abu Hamzah mencium rambut Al lalu mengacaknya perlahan. Ia duduk di samping tempat tidur Al. Abah membantu menterjemahkan apa yang dikatakan Abu Hamzah pada Al.

"Aku bawakan sesuatu untukmu," sahut Abu  Hamzah bersemangat. Dikeluarkannya beberapa buah buku dan lima buah miniatur kereta yang pertama di buat di Dunia. Mata Al berbinar-binar, seketika ia terlihat sehat dan bersemangat.

"Ini adalah miniatur lima kereta api pertama yang dibuat di dunia. Yang pertama Locomotion nomor satu dibuat di Inggris pada tahun 1825. Ini Charleston dibuat di Amerika pada tahun 1830. Ini Adler dibuat di Jerman pada tahun 1835. Ini Odin dibuat di Denmark pada tahun 1847. Dan terakhir ini lokomotif nomor satu dibuat di Jepang pada tahun 1872. Mana yang paling kau suka?"

"Ini!" jawab Al menunjuk sebuah lokomotif hitam dengan ketel uap kuning keemasan dan cerobong asap yang lebih kecil daripada keempat miniatur lokomotif lainnya.

"Ha, selera kita sama!" seru Abu Hamzah, keduanya kompak melayangkan tangan untuk toss di udara. Al tertawa terkekeh-kekeh.

"Kau tahu, di Jepang terdapat beberapa musium kereta yang keren-keren. Kau harus cepat pulih, jika Ibumu mengijinkan aku akan mengajakmu keliling-keliling di sana," kata Abu Hamzah antusias.

"Benarkah?" Al hampir melonjak karena bahagia.

"Tentu saja!" jawab Abu Hamzah mantap.

Mereka bercengkrama bahagia sesekali diselingi gelak tawa. Abah merasakan ketulusan hati Abu Hamzah pada Al.

※※※

Elena dan Ibnu baru saja memasuki lobi rumah sakit ketika mereka berpapasan dengan Ummi Izza.

"Nak Ibnu, bolehkah Ummi ajak Elena mencari sarapan di luar. Kau temani Abah di atas," pinta Ummi.

Ibnu menatap Elena ragu, tangannya tak melepaskan genggaman pada tangan Elena.

"Elena akan aman bersamaku, percayalah," sahut Ummi Izza setengah tertawa melihat kekhawatiran Ibnu yang langsung malu dan melepaskan tangan Elena.

"Baiklah," jawab Ibnu.

Ummi Izza menggandeng tangan Elena keluar lobi rumah sakit. Ia tahu Abu Hamzah akan berkunjung menemui Al, itulah mengapa Elena akan lebih baik bersamanya.

Di kantin rumah sakit yang baru saja buka, Elena memesan secangkir kopi dan Ummi Izza memesan teh manis dan seporsi lontong sayur.

"Kau tak sarapan, Nak?" tanya Ummi Izza.

"Aku tak lapar," sahut Elena sambil mengaduk kopi tapi hatinya yang terasa kacau.

"Jaga kesehatanmu, Nak. Jangan sampai sakit, Al membutuhkanmu," sahut Ummi Izza menangkap kegalauan hati Elena.

Ummi tahu persis perasaan Elena terhadap Abu Hamzah tetapi perempuan di hadapannya ini berjuang setengah mati untuk tetap bertahan dalam ketaatan Rabb-nya dan berusaha mengalahkan hawa nafsunya.

Elena mengangguk lalu menghembuskan napas panjang dan berat. Disandarkan punggungnya ke kursi.

Nak, Ummi sedikit banyak tahu posisimu ... dan perasaanmu. Bersabar lagi ya. Sabar itu bertahan, bertahan atas apa? Bertahan atas tiga macam perkara.

Sabar dalam mentaati Allah. Sabar dari hal-hal yang dilarang Allah. Dan sabar dari takdir Allah yang tidak menyenangkan. Dan saat ini kau menanggung ketiganya sekaligus. Masyaa Allah, DIA sedang memperhatikanmu, Nak.

Sabarlah dalam mentaati Allah, dalam hal ini kau harus bersabar dalam rumah tanggamu taat pada suamimu. Ingatlah kebaikan-kebaikannya. Keshalihannya.

Tetapi kau juga harus bersabar dari hal-hal yang dilarang Allah, kehadiran Eugene sedikit banyak pastilah mempengaruhi perasaanmu. Bertahanlah Elena, jangan biarkan syetan menyusup dan mengembalikanmu kepada masa lalu. Berhati-hatilah dengan hatimu.

Dan dalam waktu yang sama kau juga harus bersabar atas takdir Allah, kehadiran Adinda, kecelakaan yang menimpa Al.

Ah, Nak ... bersabarlah dengan kesabaran yang indah," nasehat Ummi panjang.

Elena menunduk dalam, Ibnu, Al dan Eugene berkelebat di benaknya. Ibnu lelaki yang baik dan shalih, Elena terkenang kesabaran suaminya membimbingnya ke dalam hijrah, kecemburuannya dan cintanya yang menenangkan. Nyaris sempurna. Sedangkan Eugene, mencintai lelaki itu ibarat menaiki roller coaster penuh kejutan, mendebarkan, Elena merasa seperti seorang tuan putri yang dimanjakan. Eugene mencintainya dengan membara dan tak berkesudahan.

Elena memejamkan matanya, mencoba menundukkan hatinya. Apa yang harus aku lakukan? Mengikuti akal sehat atau perasaan? Sungguh keduanya bertolak belakang.

※※※

Ibnu masuk ke kamar Al, menyalami Abu Hamzah dengan dingin. Menyapa Al sekilas, melihat buku-buku dan miniatur kereta yang bertebaran di atas selimutnya. Ibnu melihat kedua orang itu begitu akrab dan bahagia.

"Temani Abah," ajak Abah menepuk bahu Ibnu dan beranjak keluar. Ibnu mengikutinya.

Di luar kamar Al, mereka duduk di kursi berdampingan.

"Apakah ada yang ingin kau bagi pada Abah?" lelaki dengan kesabaran seluas samudra itu menawarkan dirinya untuk menjadi pendengar.

Ibnu menghela napas panjang dan berat, telapak tangannya mengusap wajahnya sekali seolah hendak membuang beban penat.

"Aku tidak tahu apakah Elena lebih mencintaiku atau lelaki itu," jujur Ibnu.

"Apakah kau mencintai Elena?"

"Dengan sangat, Abah"

"Kalau begitu apalagi? Elena istrimu, kau lebih berhak daripada lelaki itu. Dan Elena bukan perempuan biasa, tidakkah kau lihat keshalihannya? Pertahankan!"

Ibnu menunduk dalam hatinya terbersit sedikit perasaan tidak yakin. Bagaimana jika Elena memilih pergi?

"Kau adalah kepala keluarga, jangan jadikan rumah tanggamu seumpama sarang laba-laba. Secara estetika sarang laba-laba itu rumah yang kuat dan indah tapi kelemahan ada di dalam esensi kehidupan rumah tangganya. Kau tahu satu sarang laba-laba hanya dihuni oleh satu ekor laba-laba betina. Jikalau ada dua ekor laba-laba, maka yang satunya adalah laba-laba jantan yang harus segera pergi setelah melampiaskan hasrat biologisnya atau laba-laba betina akan menerkamnya. Begitupun anak-anak dari laba-laba harus segera keluar setelah menetas dari telurnya atau merekapun akan dimangsa induknya.

Jangan jadikan rumah tanggamu rapuh, keropos di bagian dalamnya karena kau menyerah melemah sebagai pemimpin.

Sakinah itu tenang, maka tanyakanlah pada istrimu apakah telah kau tenangkan hatinya? Agar kau dan ia dapat bersinergi saling mengokohkan.

Jadikan rumah tanggamu seperti rumah tumbuh, yang terus memberikan potensi kepada seluruh penghuninya untuk berkembang maksimal dalam ketaatan. Seperti tangga yang menjadi titian naik ke Jannah-Nya." nasehat Abah panjang.

Ibnu terdiam, batinnya berperang. Pertahankan atau lepaskan. Ia selalu jatuh cinta mengingat kesungguhan hijrah dan ketaatan Elena padanya. Tapi di lain pihak ia ragu bisa mengendalikan perasaan cemburunya, ia sadar betul pernah mendzalimi Elena dalam pemberian nafkah batin selama bertahun-tahun.

※※※

Sekembalinya dari Jakarta, Abu Hamzah banyak menyendiri di sebuah tempat yang sering dijuluki "secret beach" berlokasi di bantaran sungai Edmonton.

Walaupun bukan pantai yang berujung lautan, namun Abu Hamzah tetap bisa membayangkan Al dan Elena bermain pasir dan air di tepi sungai yang tenang. Di pantai itu ia bermimpi mengajak Elena lomba lari, sambil ia menggendong Al di punggungnya. Dan ia membiarkan perempuan yang dikasihinya itu memenangkan perlombaan. Kadang imajinasinya makin liar, ia seperti melihat dirinya menggandeng Al dan Elena dengan perut yang membesar. Abu Hamzah tertawa kecil sementara matanya terasa panas menahan sesuatu yang bergejolak di dalamnya.

Tak jauh dari situ, ia telah membangun sebuah rumah kaca untuk Elena. Agar setiap hari perempuan yang dicintainya itu bisa melihat puas ke arah "pantai rahasia".

Tetapi sekarang ia ragu. Mengejar impiannya atau merelakannya. Elena adalah bukti cinta yang tidak pernah usai, perempuan itu selalu membangkitkan rasa ingin melindungi dan membahagiakannya. Ia seperti gadis kecil yang rapuh di hadapannya. Tetapi Elena sudah berubah banyak, ia kelihatan tegar dan dewasa. Ia sudah dan masih menikah dengan lelaki yang banyak mengenalkannya pada Islam.

Benar kata Abah, menundukkan hawa nafsu adalah hal yang paling sulit. Terkadang ia mampu mengalahkan tetapi seringkali ia yang dikalahkan.

Abu Hamzah meremas pasir di genggaman tangannya hingga berguguran melesak keluar diantara jemari tangannya. Buliran air mata jatuh, ia menangis tergugu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasakan kesakitan, menyerahkan cintanya pada Elena atau menyerahkan hatinya pada Rabb-Nya.

🍁🍁🍁  TAMAT  🍁🍁🍁

Jazakumullaahu khayran katsiran.
Afwan wa barakallaahu fiikum

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url