Novel Elena (Part 21) - Baca Gratis Disini

Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next  Tere Liye. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404

Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 21

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Baca Novel Elena Part 21 Di Sini Sekarang

Elena tersipu, merasakan hangat napas Ibnu mendekat ke wajahnya. Hatinya mulai tak karuan, setelah bertahun-tahun ia hampir lupa debar yang sekarang kembali dirasa.

Ibnu menaruh tangan kanannya di bawah lutut Elena sementara tangan kirinya diselipkan di bawah lengan Elena, sekali angkat Ibnu berdiri membopong Elena ke kamar. Elena melingkarkan kedua tangannya di leher Ibnu dan meletakkan kepala di bahunya yang kokoh. Mereka saling berpandangan mencoba meraih kembali kemesraan yang lama hilang.

Novel Elena
Part 21

Sinar matahari lembut menembus kabut pagi, Al berlari mengejar bola sendirian di halaman villa yang terhampar rerumputan. Ibnu dan Elena duduk berdekatan di teras menikmati kopi, wajah keduanya berseri-seri. Elena seperti anak kecil yang baru saja menemukan kembali mainannya yang hilang, wajahnya ceria.

Ibnu sesekali menggoda Elena, membuat wajahnya terasa memanas bersemu tersipu. Namun Elena menikmatinya, ia berharap waktu terhenti dan mereka bertiga tetap di sana. Tapi kenyataan seringkali tidak sesuai harapan, waktu berlalu cepat bagai langkah seorang pelari. Sore ini mereka harus kembali menjemput Adinda dan kembali ke Jakarta. Kemudian Elena harus melepas Ibnu kembali ke Kanada.

Ibnu meraih bahu Elena dan mencium pelipisnya, dibisikannya berulang-ulang kata cinta. Lalu ia bangkit menghampiri Al, sesaat kemudian dua orang itu larut dalam tawa sambil bermain bola. Elena seperti bermimpi melihatnya, mimpi indah yang ia tidak ingin terbangun karenanya.

Elena sedang membereskan barang-barangnya ke dalam koper ketika tangan Ibnu meraihnya masuk ke dalam pelukan.

"Aku belum mau pergi, tak bisakah kita tinggal lebih lama lagi?" tanya Elena sambil berbisik.

"Ikutlah ke Kanada," sahut Ibnu singkat, napasnya mulai cepat.

"Aku tak kuasa menahan cemburu, jika harus tinggal dengan Adinda dalam satu waktu," desah Elena sendu.

Ibnu melepaskan pelukannya, melongok keluar sesaat dilihatnya Al sedang asik dengan koleksi kereta miniatur miliknya. Ia menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dituntunnya Elena duduk di pangkuan, lalu keduanya kembali mengulang keindahan yang terjadi semalam.

Adinda mencium aroma tak biasa, ia merasa mencium harum tubuh Ibnu di pakaian yang dikenakan Elena. Terlebih ia memperhatikan suaminya sering mengerling ke arah Elena dan perempuan itu menanggapinya dengan tertawa kecil. Adinda tidak pernah melihat Elena tertawa, pastilah terjadi sesuatu di antara mereka selagi ia tak ada. Adinda bersungut-sungut sepanjang perjalanan ke Jakarta. Sesekali ia mendengus kesal ketika Ibnu menanyakan pendapat Elena terlebih dahulu daripada pendapatnya. Semisal, 'Kau lapar? Mau makan apa? Kau capai? Mau berhenti dulu untuk istirahat dan minum kopi? dan seterusnya. Adinda merasakan marah dan cemburu dalam dada.

Di bandara menjelang kembali ke Kanada, Ibnu berpamitan pada Elena. Ia membisikkan janji urusan di Kanada akan selesai tahun ini dan kembali pulang untuk menetap di sini. Elena mengangguk pasrah. Sekilas ekor matanya melihat Adinda tersenyum sinis penuh kemenangan.

Ibnu memeluk Al, setelah bermain berdua tempo hari Al terlihat enggan melepaskan pelukannya. Bahkan ia hampir saja menangis.

Selepas keduanya pergi, hati Elena kembali sepi.

※※※

Sejak kembali ke Kanada Eugene kembali memegang bisnis rumah makannya, ia seringkali merangkap menjadi koki andalan di sana. Sambil terus menyelesaikan bacaan Al Quran terjemahan di sela-sela waktu senggangnya. Banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan dalam perjalanannya mengenal agama Islam.

Suatu ketika tetiba Eugene ingat sebuah nama yang diberikan Abah di Indonesia. Ia memperhatikan tulisan di balik kartu nama Abah, tahu persis tempat itu tidak terlalu jauh dari rumah. Ia memutuskan datang langsung.

Eugene menerobos masuk ke dalam bangunan putih bertuliskan Sayeda Khadija Center yang berlokasi di Mississaiuga Ontario, masih dengan bersepatu ia bahkan melewati beberapa orang yang sedang shalat. Tidak seperti masjid biasanya, bangunan ini tanpa kubah dan berbentuk kotak. Karpetnya berwarna biru langit menyesuaikan dindingnya yang bercat biru muda dengan dikombinasikan keramik bermotif etnik.

Seorang lelaki ras asia melayu berjalan menghampiri, walaupun tidak menyamainya namun ia berbadan cukup tinggi besar dan berjanggut. Eugene merasa sedikit gentar, di kepalanya terbayang para pelaku teror tragedi 119 di Amerika.

Di luar dugaan lelaki itu menyapanya ramah, menyalami memeluknya hangat dan memanggilnya dengan sebutan 'mate'. Sejurus kemudian Eugene baru tersadar bahwa ia masih mengenakan sepatu dan melampaui batas suci. Terburu-buru ia melepaskannya dan menaruhnya di rak sepatu lalu kembali masuk ke dalam lagi.

"Aku Ibnu, jemaah masjid ini. Siapa namamu, kawan?" tanyanya ramah sambil merangkul bahu Eugene.

"Aku Eugene, tinggal di Toronto. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang Islam jika kau tak berkeberatan menjawabnya," tutur Eugene menjelaskan maksud tujuannya dengan bersemangat sehingga ia lupa menyebutkan darimana ia mendapatkan referensi untum datang ke tempat itu.

"Tentu saja kau boleh bertanya tapi aku tidak selalu ada di masjid ini. Jika aku tak ada kau bisa bertanya pada yang lain, teman-temanku bisa membantu. Atau kau bisa main ke apartemenku sehingga kita bisa berbicara lebih banyak dengan santai," kata Ibnu menawarkan.

"Mengapa kau tidak marah melihatku masuk masjid masih dengan mengenakan sepatu?" tanya Eugene merasa konyol.

Ibnu tertawa, "Nabi kami mengajarkan untuk berakhlak baik kepada setiap orang, sekalipun bukan muslim. Ada diantara manusia adalah mereka yang tidak tahu sama sekali, belum ada ilmu dan belum ada iman. Ada yang sudah beriman tapi belum berilmu. Ada yang sudah berilmu tapi tidak beriman. Dan sebaik-baik manusia adalah yang mempunyai keduanya, yaitu iman dan ilmu. Dalam hal ini kami tidak marah karena kau termasuk yang pertama tadi," terang Ibnu ramah. Eugene mengangguk-angguk, sekarang ia makin yakin Islam bukan agama teroris.

"Apakah tempat tinggalmu jauh?" tanya Eugene.

"Tidak, tidak. Dekat sini, hanya beberapa menit berjalan kaki," sahut Ibnu.

"Baiklah, kapan kau punya waktu?"

"Sekarang aku senggang, sementara ini kita bisa bicara di sini sampai masuk waktu shalat ashar kemudian aku harus pulang sebentar. Nanti kuberikan alamatnya," terang Ibnu.

Eugene mengawali dengan menceritakan asal-usulnya bahwa ia dibesarkan oleh orangtua yang beragama kristen namun seiring bertambah usianya ia memilih menjadi atheis. Menurutnya hidup hanya diisi dengan bersenang-senang sampai tiba waktunya mati, lalu sudah. Selesai. Tidak ada akhirat. Tidak ada Tuhan.

"Apakah kau sudah mencoba mencari tahu sebelumnya?" tanya Ibnu.

"Ya, aku pernah mempelajari tentang agama lain, mulai dari kristen, hindu, budha bahkan yahudi. Namun aku tak menemukan yang aku cari maka aku bertahan bahwa tidak ada Tuhan."

"Sekarang kau mencari tahu tentang Islam?"

"Ya, sebenarnya sebelumnya aku tak pernah terpikir untuk mempelajari Islam, aku mengenalnya sebagai agama teroris."

"Lalu apa yang membuatmu berubah pikiran?"

"Aku bertemu dengan orang-orang Islam dan mereka jauh dari kesan teroris. Sepertimu, kau mengejutkanku dengan keramahanmu," ujar Eugene. Ibnu tertawa kecil.

"Apa yang kau ingin tanyakan?" tanya Ibnu.

"Belakangan ini aku mulai bertanya-tanya perihal tujuan hidupku. Selama ini aku menghabiskannya dengan bersenang-senang, melakukan apapun yang aku suka dan aku mau," jelasnya ingin tahu.

"Tunggu sebentar," kata Ibnu. Ia lalu beranjak dari duduknya dan kembali membawa sebuah buku. Al Quran.

"Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Tuhannya yaitu Allah Subhana wa ta'ala," jelas Ibnu sambil menunjukkan sebuah ayat dalam Al Quran dan membacakan artinya.

"Kau tentu tidak berpikiran bahwa segala sesuatu tercipta dengan sendirinya tanpa pencipta kan?" canda Ibnu.

Eugene tertawa hambar, Ibnu benar dan selama ini ia terjebak dalam kebodohan karena kesombongannya sendiri.

Kemudian Eugene melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Bagaimana tata cara beribadah? Untuk apa Allah mengutus para Nabi dan Rasul? Apa itu Laa Illaaha Illallaah? Dan lain-lain.

Ibnu menjelaskan dengan sabar dan yang membuat Eugene kembali takjub adalah bahwa setiap kali Ibnu menjawab ia selalu membuka Al Quran dan menunjukkan padanya ayat-ayat yang berkenaan dengan pertanyaannya. Eugene berdecak kagum akan pemahaman Ibnu. Ia merasa puas, karena selama pencariannya kebanyakan orang yang ia temui menjawab pertanyaannya dengan opini sehingga walaupun kitabnya satu tetapi interpretasi yang berbeda-beda sesuai isi kepala masing-masing orang.

Mereka berdiskusi hingga masuk waktu ashar, Eugene tinggal beberapa saat memperhatikan mereka shalat lalu pulang.

Ia berjanji untuk mengunjungi tempat tinggal Ibnu untuk melanjutkan diskusi. Ibnu menyambutnya dengan senang hati.

Hari-hari setelahnya adalah hari dengan banyak diskusi yang terjadi diantara mereka berdua. Eugene menanyakan pendapat Ibnu mengenai banyak hal termasuk mengapa perempuan harus menutup aurat? Mengapa seorang laki-laki boleh beristrikan empat orang sedangkan seorang istri hanya untuk satu suami? Ibnu menjawab ini bukan masalah pendapat, ini adalah firman Allah dan kewajiban kita hanya taat. Sami'na wa atho'na.

Beberapa kali Eugene main ke apartemen Ibnu dan berkesempatan bertemu Adinda. Ibnu mengenalkannya sekali lalu meminta Adinda untuk tidak keluar selama Eugene masih ada, biar ia yang membawa suguhan keluar. Namun Adinda terkadang mengintip dari balik tirai, mencuri-curi pandang ke arah Eugene yang gagah rupawan.

Lebih dari enam bulan Ibnu menjadi teman diskusi Eugene sampai akhirnya ia merasa mantap, inilah ia cari selama ini.

※※※

Eugene berdiri di tempat ini untuk kedua kalinya. Ia mematung sejenak di bawah papan nama BAITUL QURAN.

Pak Udin, supir yang sama yang pernah mengantarnya ke tempat ini mencolek lengannya, ia mengarahkan jempol meminta ijin untuk ke masjid. Eugene mengangguk-angguk beberapa kali.

Jantungnya berdegup kencang dan cepat, keringat dingin mengucur dari badannya. Dikepalkan tangannya, mengumpulkan semua keberanian dan menguatkan tekad.

Eugene mengikuti Pak Udin yang sudah berjalan mendahuluinya. Dengan mantap ia masuk ke dalam masjid dan terperangah tidak menyangka melihat sedemikian banyak orang di dalamnya rupanya mereka baru bersiap-siap untuk mendengarkan ceramah Abah sebelum shalat Jumat. Namun Eugene tidak gentar, ia tetap berjalan diantara para lelaki yang duduk bersila menghampiri Abah yang tengah berdiri di mimbar terkaget-kaget.

"Eugene, ada apa? Apa yang bisa kami bantu?" tanya Abah lembut dan bijak seperti biasa. Ia turun dari mimbar, menghampiri Eugene. Menyalami dan memeluknya sebentar.

Eugene tidak serta merta melepas jabat tangan Abah, malah digenggam semakin erat.

"Abah, aku ingin masuk islam sekarang," ucapnya mantap.

Segenap santri termasuk Pak Udin mengucap takbir, 'Allahu Akbar!'.

Abah dan Eugene duduk berhadap-hadapan, Abah meminta salah seorang santri mengambil air dan menyerahkannya pada Eugene untuk diminum. Sekedar sedikit mengurangi rasa grogi.

"Eugene, perhatikan. Agama ini bukanlah main-main. Apakah kau sungguh-sungguh masuk untuk beribadah kepada Allah? Atau kau masuk hanya untuk tujuan tertentu?" tanya Abah tegas. Eugene paham betul apa yang Abah maksud.

"Ya, aku bersungguh-sungguh masuk Islam karena aku ingin beribadah kepada Allah dan menjadi manusia yang lebih baik lagi." jawab Eugene semakin mantap.

"Baiklah, ikuti kata-kataku," kata Abah sambil kembali menjabat tangan Eugene dan menyebutkan dua kalimat syahadat.

Keringat dingin kembali mengucur, "Bisakah aku mengatakannya dalam bahasa Inggris?" tawar Eugene.

"Tidak, kau harus mengatakannya dalam bahasa Arab. Kau pasti bisa, aku akan mengulangnya pelan-pelan," kata Abah menyemangati.

Akhirnya setelah dua kali dituntun, Eugene berhasil dengan sempurna menyelesaikan dua kalimat syahadat di depan Abah dan para santri.

Seisi masjid kembali menggemakan takbir beberapa kali, suasana menjadi sangat sakral. Semua orang memberinya selamat, Eugene tidak pernah sebelumnya bersalaman dan dipeluk sedemikian banyak orang.

Abah memberikan nama muslim, Abu Hamzah kepada Eugene. Lelaki yang baru muslim itu menerimanya dengan senang hati. Hari itu ia menyimak ceramah Abah tapi belum ikut serta dalam jamaah shalat. Karena menurut Abah ada beberapa tata cara yang lazimnya dilakukan orang yang baru masuk Islam selain mengikrarkan dua kalimat syahadat.

"Maaf, Abu Hamzah, apakah kau sudah sunat?" tanya Abah berbisik sangat pelan hingga hanya mereka berdua saja yang mendengar.

"Iya, sudah. Aku sudah sunat Abah, bukan karena aku dulu sudah tahu tapi karena memang secara medis itulah yang lebih sehat," jawab Abu Hamzah dengan berbisik pula. Mukanya memerah menahan malu.

"Alhamdulillah," sahut Abah sambil tersenyum.

"Abah, aku pamit kembali ke hotel. Tujuanku datang ke Jakarta memang karena ingin agar Abah yang mengislamkan aku," terang Abu Hamzah. Ia tak berani menanyakan Elena, ia tidak ingin Abah berpikir ia masuk Islam karenanya. Karena memang bukan itu niatnya.

"Kau tak ingin mampir ke rumah dulu?" tawar Abah.

Abu Hamzah tersenyum sambil menggeleng, "Tidak, terima kasih Abah. Senin aku akan kembali ke Kanada. Setelah sebelumnya bertemu Al, jika diperkenankan," ujarnya sambil menunduk takut-takut.

"Temuilah hari Senin pagi di sekolah, Aku akan sampaikan pada Ummi Izza," sahut Abah bijak.

"Terima kasih, terima kasih banyak Abah!" suka cita Abu Hamzah menjabat tangan Abah dan tak lagi sungkan memeluknya erat dan hangat. Abah menepuk-nepuk bahunya.

"Cari tahulah apa-apa yang harus kau lakukan setelah masuk Islam. Jangan sungkan hubungi aku jika kau mengalami kesulitan," nasehat Abah.

Abu Hamzah dan Pak Udin masuk ke dalam mobil, kemudian perlahan keluar dari halaman pondok menuju ke jalan besar.

Belum jauh dari pondok, Pak Udin mengarahkan mobilnya ke sebuah pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Melihat antrian yang lumayan panjang, Abu Hamzah keluar mobil untuk membeli minum karena panas terik yang membuat kerongkongannya kering.

Ia berjalan ke sebuah mini market, ketika sebuah suara dari seberang jalan memanggilnya keras, "EUGENE!"

Abu Hamzah menoleh ke arah datangnya suara, ia melihat dua sosok manusia yang dicintainya, "AL!" serunya tak kalah keras.

Al menghambur ke arah jalan besar untuk menghampirinya, Elena kalah cepat tak sempat menarik tangan Al.

"Tidak, AL! Tunggu!" teriak Abu Hamzah.

BRAKKK! Terlambat, sebuah mobil dengan kecepatan lumayan menghantam tubuh kecilnya.

"AL!!!" Elena histeris melihat buah hatinya bersimbah darah.

🍁🍁🍁  Bersambung  🍁🍁🍁

Kesimpulan Novel Elena Part 21

Bagaimana part 21 nya, saya yakin Novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya bagian part berikutnya. Silahkan klik navigasi di bawah ini untuk pindah ke part berikutnya.

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url