Novel Elena (Part 20) - Baca Gratis Disini

Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next  Tere Liye. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404

Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 20

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Baca Novel Elena Part 20 Di Sini Sekarang

"Elena! Kenalkan aku pada Rabb mu!"

Elena berhenti sejenak. Menoleh lalu berkata, "Bukankah kau mengagungkan pengetahuan yang kau miliki? Maka carilah sendiri dengan akalmu!"

Eugene menatap sosok Elena yang berlalu menjauh dengan terburu-buru. Rasanya ingin sekali ia mengejar lalu membawanya paksa untuk ikut serta, mengobati semua luka yang ia temukan setiap kali menatap matanya. Andai saja Elena berkenan meminjamkan hatinya barang sehari saja, agar ia tahu seberapa dalam kesedihan yang Elena ceritakan dalam diamnya.

Novel Elena
Part 20


"Kau meninggalkanku!" seru Mary Anne cemberut masih dengan tersengal karena berlari kecil mengejar Eugene tadi.

Eugene hanya menoleh sebentar lalu melangkah pergi menuju pintu gerbang tempat pesawat yang akan membawanya kembali ke Taipei menunggu. Mary Anne mengikuti mencoba mensejajari langkah Eugene yang panjang-panjang dengan berlari. Dalam hati Eugene berbisik, 'Aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan Mary Anne'.

Mary Anne tidak duduk bersebelahan dengannya dalam satu pesawat. Eugene bersukur ketika penumpang lain tidak bersedia untuk bertukar tempat duduk dengannya.

Sampai di bandara Taoyuan terminal 1. Eugene mengajak Mary Anne singgah di sebuah foodcourt yang terletak di tingkat B1 departure hall. Ia memesan dua cangkir kopi, keduanya berdiam diri sampai pesanan mereka datang. Perempuan itu nampak masih kesal.

"Mary, aku harus melepaskanmu."

"Maksudmu? Kita putus?" suaranya meninggi.

"Putus? Aku bahkan tidak tahu apa nama hubungan kita. Bukankah dari awal kita sepakat untuk tidak melibatkan perasaan?"

"Jadi selama ini aku cuma sebatas teman tidur?"

"Tapi dari awal sudah aku katakan aku tidak mempunyai perasaan apapun padamu," sanggah Eugene jujur.

PLAK! sebuah tamparan mendarat di pipi Eugene. Lelaki itu bergeming, ia pantas mendapatkannya.

"Aku fikir setelah sekian tahun kau akan mencintaiku sedikit demi sedikit," ujarnya mulai terisak.

"Maafkan aku Mary. Tapi aku hanya mencintai satu orang dan ia bukan kau."

"Kau melakukan kesalahan!"

Eugene terdiam namun dalam hatinya membantah, bahkan ia merasa ini adalah keputusan yang paling benar yang pernah ia ambil seumur hidupnya selain meninggalkan rokok dan alkohol. Demi Al.

Kecewa dan marah Mary Anne bangkit, menggeser kursinya kasar dan beranjak pergi mengabaikan kopinya yang belum disentuh sama sekali.

Eugene menghela nafas lega, satu ikatan terlepaskan. Sepanjang penerbangan tadi hatinya sudah mantap kembali ke Taipei untuk menyelesaikan urusannya dengan Mary Anne, memutuskan kontrak kerjanya dengan perguruan tinggi tempat ia mengajar. Lalu pulang ke Kanada.

Dengan menumpang sebuah kereta MRT ia melanjutkan perjalanannya ke Taipei, ibukota Taiwan dimana ia menyewa sebuah apartemen untuk tempat tinggal sementara selama mengajar di sana. Ingatannya akan Elena membuatnya berhenti di stasiun Guting. Berjalan kaki sekitar sepuluh menit kemudian sampai di sebuah bangunan megah.

Tepat di depan Eugene berdiri kokoh The Taipei Grand Mosque, pusat ibadah komunitas islam Taiwan yang terletak di Da-an district. Bagian paling menarik dari bangunan ini adalah bagian kubahnya yang besar menjulang setinggi lima belas meter dan diameter lima belas meter juga dan semuanya ditopang tanpa ada penyangga. Masjid ini juga mempunyai dua menara yang menjulang tinggi setinggi lebih dari dua puluh meter. Eugene memperhatikan seksama bagian dalam masjid yang dipercantik dengan karpet buatan tangan dari persia dan lampu kristal yang indah. Tetapi ia tidak menemukan sosok 'Tuhan' di sana sebagaimana ia menemukan  Tuhan-Tuhan di tempat-tempat peribadatan agama lain.

Seorang lelaki muslim penduduk lokal, menghampiri Eugene yang berdiri mematung. Menyapanya ramah sambil tersenyum.

"Di mana Tuhanmu?" tanya Eugene tak dapat menahan penasaran.

"Tuhan kami, Allah bersemayam di atas Arsy." jawabnya sambil membuka sebuah buku yang Eugene tahu sebagai kitab suci umat Islam. Lelaki itu membacakan salah satu ayat dan menterjemahkannya dalam bahasa Inggris.

Lalu Eugene kembali bertanya tentang Arsy dan kemudian disusul dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Dengan sabar lelaki yang mempunyai nama muslim Ubay itu menjawabnya sambil mengajak Eugene berjalan berkeliling. Setiap kali menjawab, Ubay selalu membuka Qurannya. Eugene memandang takjub buku itu, pastilah sangat lengkap isi di dalamnya.

Satu jam lebih Eugene menghabiskan waktu bertanya-tanya. Ia pamit pulang karena malam hampir menjelang. Ubay melihat ketertarikan Eugene pada Islam dan memaksanya untuk membawa serta Al Quran dengan terjemahan berbahasa Inggris untuk Eugene bawa pulang. Akhirnya ia berterima kasih dan menerimanya dengan sukacita.

Di sela-sela menyelesaikan urusan pekerjaan, Eugene banyak menghabiskan waktu membaca terjemahan Al Quran. Semakin dalam ia baca semakin bergetar hatinya. Sampai di banyak ayat yang menceritakan tentang kiamat dan adzab di akhirat, keningnya tak berhenti berkeringat. Ia menutup Al Quran nya beberapa saat, ia tak kuat.

Kurang dari sebulan Eugene berhasil menyelesaikan semua urusannya di Taipei dan langsung terbang pulang ke kampung halamannya, Kanada.

Catherina, ibu Eugene menyambut dengan suka cita sepenuh kerinduan pada anak bungsunya dari dua bersaudara. Kakak Eugene, perempuan bernama Celine. Ia sudah menikah tinggal bersama suami dan dua anak kembar perempuannya yang bernama Jesica dan Jenifer.

※※※

Telapak tangan Elena masih terasa dingin, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Seandainya ujian kehidupan bisa memilih, maka ia akan memilih untuk tidak dipertemukan lagi dengan Eugene. Elena takut hatinya belum sekuat itu untuk terus menghindar darinya.

Dari kejauhan ia melihat Ibnu dan Adinda melambaikan tangan ke arah Elena dan Al. Entah mengapa mereka berdua belum memiliki anak sampai sekarang, Elena tidak pernah merasa ingin menanyakannya.

Al tersenyum senang melihat Ibnu. Meskipun dalam hati ia merasa bahwa ayahnya menjaga jarak dengannya. Ibnu memenuhi kebutuhan materi Al dengan sangat baik tetapi ia tidak sebaik itu dalam masalah kedekatan batin dengan Al. Elena mencoba menepis rasa heran yang sering dipertanyakan Al, semisal mengapa ayah hampir tidak pernah memeluknya? Mengapa ayah tidak pernah mengajaknya bermain dan pergi berdua? Mengapa ayah kelihatan lebih sayang dengan Maryam? Dan hal-hal lain semacamnya. Elena maklum, bukankah seperti Abah bilang bahwa memang hati itu tak pernah netral.

Dari bandara, mereka langsung ke pesantren tempat Maryam belajar. Sayangnya mereka hanya bisa berkunjung sebentar dan Maryam tidak bisa ijin meninggalkan pesantren karena sedang masa ulangan harian.

Elena memeluk Maryam hangat dan erat sebelum momen kedekatan ini kelak bisa jadi menghilang, dalam hatinya sedikit cemas. Seiring dengan kedewasaan Maryam kelak ia akan menanyakan perihal Al. Bagaimana jika ia pun tak menerima masa lalunya?

Setelah menjenguk Maryam, mereka berempat menuju pondok kediaman Abah dan Ummi. Disambut dengan hangat dan sukacita. Adinda selalu merasa canggung menerima keramahan Ummi Izza padahal ia acuh tak acuh padanya.

Selepas shalat maghrib berjamaah sambil menunggu datangnya waktu isya, Abah mengajak Ibnu berbincang-bincang di teras masjid.

"Nak Ibnu, maaf Abah mau tanya bagaimana hubunganmu dengan Elena?"

Ibnu menunduk tak menjawab apa-apa, ia tahu persis ke mana arah pembicaraan ini. Tetapi ia terlalu segan untuk tidak mempedulikan pertanyaan Abah.

"Apakah kau masih mencintainya?" tanya Abah lagi.

Kali ini, Ibnu mengangguk pasti.

"Memang tak mudah mencintai yang tidak berkenan di hati. Tidak nyaman menjalani yang tidak sesuai dengan harapan. Tapi itu bukanlah alasan untuk melakukan kedzaliman. Coba tanyakan pada hati kecilmu, apakah penolakanmu pada Elena adil baginya? Apakah kau sedang berusaha menghukum Elena? Jangan lupa, setiap kedzaliman yang kau timpakan pada istrimu di dunia sejatinya kau sedang mendzalimi dirimu sendiri di masa yang akan datang di akherat sana. Karena istri amanah terbesar bagi seorang suami.

Jika kau ingin mempertahankan, cobalah bersikap adil. Jika tidak bisa, maka lepaskanlah. Setiap orang berhak untuk mengusahakan kebahagiaannya. Pun tidak terkecuali Elena."

Malam itu mereka semua bermalam di pondok Abah dan Ummi. Adinda sendirian tertidur lebih awal karena terlalu capek di kamar tamu, Al juga sudah mempunyai kamar sendiri sejak ia dan Elena lebih sering tinggal di pondok.

Ibnu mengucap salam, seraya masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Elena sedang membaca Al Quran, ia menjawab salam Ibnu lalu meminta ijin melanjutkan tilawahnya. Ibnu merebahkan tubuhnya di tempat tidur, disimaknya dengan seksama bacaan Elena yang sudah jauh berbeda dari awal-awal mereka menikah dulu. Suaranya merdu dan tartil, Ibnu memejamkan mata menikmati perasaan damai yang menyusup dalam hatinya. Perlahan rasa haru itu muncul, ia merasakan matanya panas berkaca-kaca.

Adinda hampir tidak pernah mengaji, sampai saat inipun ia harus tetap berjuang mendidik istri keduanya itu. Tetapi ia yakin setiap orang mempunyai masanya sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik sebagaimana ia mempunyai keyakinan yang sama pada Elena dulu. Bagaimanapun ia banyak belajar dari pengalaman Elena, bahwasanya seorang pendosa yang bertaubat lebih baik daripada seseorang yang merasa lebih suci hanya karena ia tidak terjatuh dalam dosa-dosa besar.

Bisa jadi masa lalu Elena yang kelam menariknya jauh ke belakang, namun kesungguhannya bertaubat menjadikannya mempunyai daya lenting lebih tinggi untuk melesat jauh ke depan layaknya sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya.

Elena menyelesaikan tilawah lebih cepat dari biasa lalu melipat mukenah, ia merasakan Ibnu tengah memperhatikannya.

Ibnu menggeser tubuhnya, memberi ruang untuk Elena merebahkan diri di sampingnya. Mereka berbaring menyamping saling berhadap-hadapan.

Ibnu membelai rambut hitam panjang Elena, lalu turun ke pipinya yang nampak tirus karena ia sekarang jauh lebih kurus. Ia memandang lekat pada kedua bola mata Elena yang tak pernah bisa berbohong tentang luka yang sarat di dalamnya.

"Apakah kau masih mencintaiku?" tanya Ibnu berbisik. Elena mengangguk pelan.

"Bahkan setelah apa yang aku lakukan padamu?" tanya Ibnu lagi.

"Aku pernah membaca perkataan Yahya bin Mu'az bahwa cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” jawab Elena sambil tersenyum tipis.

Ibnu meraih Elena, mencium rambutnya yang harum semerbak. Dikecupnya kedua kelopak mata Elena, lanjut ke pipi lalu turun ke bibir lebih lama. Untuk sesaat Elena berharap lebih sampai akhirnya Ibnu hanya merengkuhnya ke dalam pelukan sampai ia tertidur keletihan dan Elena terjaga sendirian.

※※※

Pagi-pagi Adinda kelihatan gelisah di meja makan karena tidak menemukan Ibnu dan Elena di sana. Ia mulai berfikir macam-macam. Dan baru merasa lega setelah yakin Ibnu keluar kamar dengan rambut kering.

Setelah sarapan lalu mereka berpamitan pada Abah dan Ummi untuk pergi mengunjungi orangtua mereka dengan mengendarai mobil Ibnu yang tetap terawat baik di tangan Abah.

Pertama mereka ke rumah Mami Papi mertua Elena. Entah kapan mereka akan membuka diri untuk Elena dan Al. Ia seperti dianggap tidak ada, beruntung Al ikut jadi Elena masih mempunyai teman bicara. Namun Elena tetap berusaha bersikap baik, begitupun Al.

Setelah itu mereka semua meluncur ke Bandung. Di rumah orangtua Adinda, Elena merasa rikuh. Orangtua Adinda sebenarnya cukup ramah pada Elena dan Al. Tetapi Adinda yang berusaha agar menjaga jarak diantara mereka. Adinda tinggal di rumah orangtuanya untuk melepas rindu dan akan dijemput kembali beberapa hari ke depan sebelum berangkat lagi ke Kanada.

Tanpa Adinda, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Mama dan Papa, Elena berkesempatan berbicara secara pribadi dengan kedua orangtuanya di kamar mereka. Elena bersimpuh di kaki keduanya.

"Ma, Pa, mohon ampuni Elena. Taubatku serasa tak sempurna tanpa ampunan Mama dan Papa ..." lirih Elena.

Melihat Elena dan posisinya sekarang setelah Ibnu menikah dengan Adinda, hati kedua orang tua Elena luluh. Betapa kehidupan telah memberikan pelajaran sendiri bagi anaknya, rasanya tidak bijak jika ia bersikeras tidak mengampuninya.

"Kami memaafkanmu, Nak. Kami akan ada di belakang untuk mendukungmu apapun keadaanmu. Bahkan jika kau memutuskan untuk meminta cerai sekalipun," tutur Mama terdengar sedikit gemas sambil terus mengelus rambut Elena sementara Papa hanya diam namun Elena merasakan restu dari tepukan lembutnya di bahu Elena beberapa kali.

Dari sana, Ibnu mengarahkan mobilnya ke sebuah villa di pegunungan. Setiap melintasi jalan berkelok yang dibatasi jurang Elena mencengkeram erat tangan Ibnu, Elena takut ketinggian. Itulah mengapa ia lebih menyukai laut dan pantai. Sesekali Ibnu tertawa kecil melihat raut muka cemas Elena, begitu juga Al.

Bertiga mereka terlihat lebih santai dan Elena sedikit mulai bisa tertawa. Ibnu sejenak terpana melihat Elena, entah kapan terakhir ia melihatnya tertawa. Elena terlihat cantik sekali di matanya.

Malam itu Al tidur lebih awal, letih dan udara dingin membuatnya terlelap seperti bayi.

Di ruang tengah, Ibnu dan Elena duduk berdekatan di sofa menonton tivi. Elena berusaha memusatkan konsentrasi pada benda kotak di depannya tetapi gagal karena Ibnu duduk menyamping memandang lekat wajahnya.

"Tivinya di depan sana," kelakar Elena sambil mengarahkan wajah Ibnu ke arah tivi.

"Tivi itu biasa, aku bisa menontonnya kapan saja. Kau harus lebih sering tertawa. Kau cantik luar biasa jika sedang tertawa," rayuan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Ibnu. Sejurus ia ingat pesan Abah, pertahankan atau lepaskan. Elena ibarat mutiara di dasar laut yang paling dalam, menggapainya perlu pengorbanan namun keindahannya sepadan.

Elena tersipu, merasakan hangat nafas Ibnu mendekat ke wajahnya. Hatinya mulai tak karuan, setelah bertahun-tahun ia hampir lupa debar yang sekarang kembali dirasa.

Ibnu menaruh tangan kanannya di bawah lutut Elena sementara tangan kirinya diselipkan di bawah lengan Elena, sekali angkat Ibnu berdiri membopong Elena ke kamar. Elena melingkarkan kedua tangannya di leher Ibnu dan meletakkan kepala di bahunya yang kokoh. Mereka saling berpandangan mencoba meraih kembali kemesraan yang lama hilang.

🍁🍁🍁  Bersambung  🍁🍁🍁

Kesimpulan Novel Elena Part 20

Bagaimana part 20 nya, saya yakin Novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya bagian part berikutnya. Silahkan klik navigasi di bawah ini untuk pindah ke part berikutnya.

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url