Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 17
Semua berlangsung cepat, tiga kali pertemuan lalu tanggal pernikahan ditentukan.
Luka Elena luka yang bisu. Tak ada airmata mengalir, hanya ia menjadi lebih pendiam dan lebih senang dalam kesendirian.
※※※
Ibnu duduk berdua berhadapan dengan Abah di masjid. Hari ini ia datang sendirian, untuk meminta restu.
Sebenarnya Abah sudah tahu dari Ummi Izza, namun nampaknya Abah enggan untuk memberi nasehat jika tidak diminta.
"Kau sedang dilanda cinta, ya Nak? Sampai sedemikian tergesa-gesa, biasanya kau selalu mencari masukan sebelum memutuskan." Abah menghela napas berat.
"Aku takut terjerumus ke dalam zina," sahut Ibnu. "Aku tidak bisa berhubungan suami istri dengan Elena sejak itu, Abah. Dan aku ... aku kadang tak kuasa menahan gejolak kelelakianku," sambung Ibnu mengungkapkan perasaannya dengan sedikit malu.
"Kau dulu bisa bertahan sampai kurang lebih dua tahun sepeninggal Safitri, mengapa kau tak mencoba bersabar sedikit lagi?
Bukan, bukan Abah menentang poligami. Tak ada tawar-menawar dalam hukum Allah. Hanya saja Abah merasa kalian belum mencoba mencari jalan keluar secara maksimal."
"Kami sudah berusaha semampu yang kami bisa, Abah ..." Ibnu membela diri.
"Benarkah? Apakah kalian sudah mencoba berkonsultasi dengan pakarnya? Barangkali kalian tidak menemukan jalan keluar karena memang kalian tidak mengilmuinya."
"Aku malu, Abah ... ini seperti membuka aib dua kali ... ketidakmampuanku sebagai laki-laki di atas ranjang dan ketidakmampuanku mendidik istri sampai-sampai aku tidak tahu perzinahannya di belakangku yang membuat harga diriku terluka."
"Itu bukan menebar aib. Kau berkonsultasi pada pakarnya untuk menemukan solusi, mereka punya kode etik untuk menjaga kerahasiaan kliennya. Dan taubatnya Elena ... sedikit banyak adalah hasil didikanmu.
Kalian mungkin merasa sudah mencoba, berusaha semampu kalian. Tapi terkadang kita tidak menyadari bahwa sering kali kita menetapkan standar kemampuan kita di titik yang terlalu rendah. Masih ada opsi yang belum kalian jajaki.
Nak, ilmu itu mendahului amal. Sebelum kau memutuskan berpoligami, kau harus mempunyai ilmunya lebih dulu sebelum mengamalkannya. Dimulai dari meluruskan niatnya.
Karena seorang istri juga memiliki hak atas diri kalian, suaminya. Jika kau meminta sesuatu kepada istrimu, ingatlah bahwa sesungguhnya kau juga berkewajiban untuk memberikan kepada istrimu sesuatu semisal dengan apa yang kau minta.
Dalam hal kalian, kau menuntut pemenuhan hasrat biologismu dan menemukan poligami sebagai solusi. Lalu bagaimana dengan istrimu?
Bukan aku tidak merestuimu, Nak. Sekali lagi pilihannya ada padamu. Kami hanya bisa mendoakan yang terbaik. Pahami lagi hak-hak istri, sehingga kelak kau bisa bersikap adil atas keduanya. Dan tidak berlaku dzalim pada salah satunya.
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.
Satu lagi yang perlu kau garis bawahi, bahwa sekalipun kau berusaha untuk menjadi adil dalam pembagian materi, waktu dan perhatian. Kau tak akan pernah bisa adil dalam hal perasaan. Karena hati itu tidak pernah bisa netral, ia cenderung akan condong ke salah satu hal.
Banyak-banyaklah meminta petunjuk Allah, Nak. Karena istri itu amanah yang berat. Tahukah kau siapa yang paling mudah menyeret suami ke neraka di akhirat nanti? Tidak lain dan tidak bukan adalah istri-istri dan anak-anaknya sendiri. Apa saja hak-hak istri dan anak yang tidak ditunaikan, itulah yang paling cepat menyeretnya. Jikalau seorang suami berlaku dzalim kepada istrinya di dunia, sama seperti ia telah berlaku dzalim pada dirinya sendiri di akhirat yang akan datang."
Ibnu terdiam berusaha mencerna nasehat Abah yang terasa begitu dalam menghujam. 'Ya Allah, apakah aku telah berlaku dzalim pada Elena dengan memutuskan menikah lagi?'
"Insyaa Allah, kami akan hadir di pernikahan kalian memberi restu," ujar Abah menepuk-nepuk bahu Ibnu sambil tersenyum.
※※※
Sambil menggendong Al, Elena menatap gadis yang sedang mematut baju pengantin di hadapannya. Muda dan cantik. Ah, pantas saja Ibnu jatuh hati padanya.
Elena berinisiatif ikut mengurusi persiapan mereka berdua. Inisiatif yang gila, tidak sadar ia menertawai dirinya sendiri. Mungkin ia butuh toyoran gagang panci untuk membuatnya tersadar, 'Halo Elena ini suamimu yang akan menikah lagi.'
Tapi jika ia benar-benar mencintai Ibnu karena Allah, maka cintanya tidak akan berkurang selama dalam ketaatan. Jadi sudah sepantasnya ia memberikan dukungan kepada suaminya. Bukankah poligami itu syariat Allah? Ketaatan kepada Allah tidak baper, tidak bisa dipilih-pilih hanya yang sesuai dengan hawa nafsu kita. Di sinilah keikhlasan diuji, apakah ia akan tetap patuh tunduk dan bertahan atau berlari melawan. Elena ingin belajar menyerahkan diri kepada Rabb-nya dengan kepasrahan yang sempurna. Pasrah itu bukan masalah kalah atau mengalah. Pasrah itu wujud keyakinan mutlak akan takdir Allah adalah yang terbaik.
"Cantik," ujar Elena serak.
"Iya ... tapi bagian sini harus diperbaiki, aku terlihat gemuk," sahutnya sambil menunjuk ke bagian lengannya.
"Kan tertutup kerudung," dalihku.
"Tak bisakah memakai kerudung yang tidak menutupi bagian atas sini? Manik-manik dan bordirannya cantik sekali."
Elena terdiam. Ia seperti melihat dirinya dulu saat menikah dengan Ibnu, dalam versi yang berbeda.
"Setelah ini aku akan mengajakmu bertemu Maryam," kata Elena mengalihkan pembicaraan.
"Harus hari ini? Aku tak tahu harus bersikap bagaimana dan berkata apa," ujar Adinda. Sambil mencondongkan badannya ke arah Elena ia berbisik, "Aku tidak terlalu suka anak kecil ..."
"Kau akan menyukainya, Maryam anak yang menyenangkan." Dalam hati Elena bertanya-tanya, 'Apakah kau tidak menyukai Al juga?'.
Dari tempat itu, mereka duduk di kantin sekolah memesan dua mangkuk bakso sambil menunggu jam belajar Maryam usai.
"Ceritakan padaku tentang kalian," pinta Elena sambil tersenyum hambar.
"Oh kalau aku, aku jatuh cinta pada mas Ibnu sejak pertama kali melihatnya. Kemudian kudengar ia mulai memperhatikanku," tuturnya tersipu. Elena mengutuk dirinya sendiri karena menanyakan hal bodoh yang membuatnya cemburu.
"Tidakkah kau tahu dari awal jika ia sudah beristri?" tanya Elena perih.
"Aku tahu ... tapi aku tak bisa menahan perasaanku. Lagipula mas Ibnu bilang, kau akan mengijinkannya karena agama membolehkannya." Adinda seperti membela diri membenarkan tindakannya.
Lonceng sekolah berbunyi, anak-anak berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Elena berdiri dan beranjak menghampiri ketika dilihatnya sosok Maryam berlari ke arahnya dengan senyum cerah.
"Aku berhasil menyelesaikan hapalan surat An Naba!" lapornya bangga.
"Barakallahu, hebat Masya Allah!" Elena menyambut gembira dan menghadiahinya ciuman di kedua pipi Maryam.
"Jadi seperti biasa kita berempat makan es krim yang enak itu lagi nanti malam kan?" teriaknya bersemangat. Untuk memotivasi hapalan Maryam, Elena memang berinisiatif memberikan penghargaan setiap Maryam menyelesaikan satu surat. Berhubung Maryam suka sekali makan es krim maka ia menjanjikan untuk menikmatinya berempat, Maryam, Ibnu, Elena dan Al.
"Iya insya Allah ya, kalau Ayah tidak pulang terlalu malam. Dan nampaknya nanti kita akan berlima. Sini Ibu mau mengenalkanmu pada seseorang, ia akan menjadi anggota keluarga kita yang baru nanti." Elena menggandeng tangan Maryam dan membawanya ke hadapan Adinda.
"Siapa dia?", tanya Maryam curiga.
"Ini namanya Adinda. Ia akan menjadi bagian dari keluarga kita segera. Kau boleh memanggilnya Ibu, seperti kau memanggilku." Elena menerangkan hati-hati.
Adinda tersenyum tipis sambil menyodorkan tangannya, Maryam mundur selangkah.
"Ibuku bernama Elena, bukan Adinda. Aku tak suka padanya!" Maryam tiba-tiba berteriak marah, membalikkan badan lalu berlari menjauh.
"Maryam! Tunggu, Nak!" Elena terseok mengejar, larinya tak segesit Maryam dengan Al di gendongan dan gamis yang lebar.
🍁🍁🍁 Bersambung 🍁🍁🍁