Novel Elena (Part 13) - Baca Gratis Disini

Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next  Tere Liye. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404

Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 13

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Baca Novel Elena Part 13 Di Sini Sekarang

Abah menghentikan langkahnya. Menatap Ibnu mencari jawaban yang jujur.

"Apakah kau akan menceraikan Elena?"

Ibnu ikut bergeming sesaat lalu melangkah menuju sebuah bangku kayu panjang di bawah pohon akasia yang tumbuh tinggi subur di pekarangan pondok Abah. Ia duduk membungkuk, ditelungkupkan kedua telapak tangan di wajahnya. Kentara ia tengah menghadapi pilihan yang berat.

Novel Elena
Part 13

"Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tolong nasehati aku, Abah ..."

Abah ikut duduk di samping Ibnu. Salah satu hal yang ia sukai dari Ibnu adalah bahwa setiap kali ia mempunyai masalah dalam rumah tangganya, ia selalu meminta nasehat untuk dirinya sendiri dulu bukan meminta Abah untuk menasehati istrinya.

"Nak, keputusan ada di tanganmu. Abah hanya berharap kau banyak meminta petunjuk dari Allah. Dan mempertimbangkan banyak hal.

Nak, cerai itu memang diperbolehkan tapi juga dibenci Allah. Apakah kau sungguh-sungguh akan melakukan hal yang Allah benci?

Nak, ketahuilah misi terbesar iblis adalah memisahkan suami dan istri. Apakah kau sungguh-sungguh akan membiarkan iblis menang?

Dan satu hal lagi, Abah tidak bermaksud mengungkit masa lalu. Tapi Abah merasa perlu mengingatkan kau. Apakah kau sekarang merasa lebih baik daripada Elena? Tak ingatkah kau akan sosok Ibnu sebelum menikah dengan anakku Safitri rahimahullah? Tak ingatkah berapa banyak luka, berapa banyak airmata, berapa banyak waktu, berapa banyak kesabaran yang ia baktikan untuk mengetuk pintu hatimu agar terbuka sehingga hidayah bisa masuk menyapa.

Elena memang dulu banyak bermaksiat tapi tak ada manusia yang terbebas dari dosa sebagaimana engkau dulu pun sama. Tidakkah kau lihat ia bertobat? Tidak inginkah kau memberikan kesempatan kedua untuknya? Sebagaimana Safitri memberikan kesempatan padamu berkali-kali sampai akhirnya kau mengenal Rabb-mu?

Nak, bersikap lembutlah pada gelas-gelas kaca, bukankah sejatinya perempuan itu memang diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Jangan mencoba meluruskan secara paksa, nanti ia akan patah. Abah mengerti kemarahanmu. Tapi coba posisikan dirimu sebagai Elena. Subhanallahu, nak Ibnu ... dia baru saja melahirkan. Sakitnya belum juga hilang dan kau tidak memberinya kesempatan. Sudah cukup bagus ia tidak serta-merta menjadi gila. Elena sama terlukanya, bersabarlah Nak. Tak ada satupun ujian yang tidak memberikan bekas kebaikan jika kau dapat mengambil hikmah di dalamnya."

Abah menepuk-nepuk pundak Ibnu berkali-kali dengan lembut. Ibnu merasakan nasehat bijaksana dari Abah itu ibarat cermin besar yang dihadapkan persis di depannya mengajaknya berkaca. Adzan dzuhur terdengar, Abah mengajak Ibnu segera ke masjid untuk sholat berjamaah bersama para santri.

Malam ini Ibnu memutuskan untuk bermalam di rumah Abah. Masih banyak hal yang ingin ia tanyakan. Dan ia merasa sedikit menyesal sudah sedemikian keras terhadap Elena di hari-hari pertama setelah melahirkan. Abah betul, sudah bagus Elena tidak menjadi gila. Dulu Safitri pun sempat terjangkiti sindrom baby blue, beruntung ummi Izza siap sedia untuk membantu. Sedangkan Elena? Ia ditinggalkan orangtuanya dengan kemarahan pada hari kedua setelah ia melahirkan dan menerima kemurkaannya di saat bersamaan. Padahal bukan sepenuhnya salah ia terjerumus pergaulan bebas. Ia tak mengenal baik agamanya karena orangtuanya pun berkesan mengandalkan sekolahan untuk mendidiknya. Sebagaimana orangtua Ibnu yang mengambil jalur pendek, menikahkannya dengan Safitri untuk menyadarkan ia dari julukan playboy yang disandangnya. Abah benar, ia tidak lebih baik dari Elena ... ia hanya lebih beruntung darinya karena Safitri mau menerima menjadi suaminya.

Setelah sholat isya berjamaah, Ibnu dan Abah tidak langsung pulang. Mereka melanjutkan berbincang di teras masjid.

"Bagaimana dengan Al?"

"Secara nasab syarii, Al adalah anakmu. Meski nasab biologisnya ada pada lelaki lain. Dan antara lelaki itu dengan Al, tidak berlaku hukum nasab. Dalam artian mereka tidak bisa saling mewarisi dan lelaki itu tidak berkewajiban untuk menafkahi Al. Kecuali ... jika kalian benar-benar bercerai kemudian Elena dan lelaki itu bertobat dari zina lalu menikah secara sah. Nak Ibnu, pesan abah jangan sekali-kali kau menimpakan kemarahanmu pada Al. Ia tidak bersalah."

Ketika Abah menyebutkan jika Elena dan lelaki itu menikah, Ibnu merasakan dadanya terbakar cemburu. Ia mendongak menatap langit hitam seolah menepis bayangan itu.

Hampir tengah malam ketika akhirnya Ibnu masuk ke kamar yang dulu menjadi kamar Safitri. Ia menemukan Elena tertidur sambil menyusui. Wajahnya sarat dengan keletihan. Matanya masih sembab, bukti tangisnya jarang berhenti. Ibnu duduk di pinggir tempat tidur hati-hati, diperhatikannya dengan seksama sosok Elena. Ya Allah, ia terlihat lebih kurus dan wajahnya pucat pasi. Tangan Ibnu terjulur menyibak rambut Elena yang sebagian kecil jatuh di dahinya. Diusapnya pipi tirus Elena dengan pelan, ia tak ingin membangunkannya. Ia hanya ingin berlama-lama menatapnya. Ia rindu ...

Pandangannya beralih ke sosok mungil nan lucu. Sesekali mulutnya bergerak-gerak menyusu lalu diam tertidur namun beberapa saat kemudian menyusu lagi, tertidur lagi, begitu terus-menerus. Ibnu tersenyum geli. Abah lagi-lagi benar, si kecil Al tidak bersalah apa-apa. Ia hanya menjalani takdir yang digariskan Rabb-nya.

Ia tidak menemukan Maryam di kamar itu, pastilah tidur di kamar ummi Izza. Maryam sangat dekat dengan neneknya.

Ibnu perlahan mencium pipi Elena lalu bangkit menggelar kasur busa di lantai dan tidur di atasnya. Bukan, bukannya ia tak ingin tidur bersama Elena. Ia hanya ingin memberikan waktu untuk dirinya dan Elena untuk sama-sama lebih bijaksana mengolah rasa bersalah.

Sebagaimana yang pernah abah sampaikan padanya, rasa bersalah itu seperti cahaya harus dijaga stabilitas nyalanya. Bila terlalu redup apalagi mati, kita akan kehilangan sisi emosi yang bisa menggerakkan hidup kita. Tapi bila terlalu menyala-nyala hingga membakar seluruh isi hati, rasa bersalah akan membunuh pikiran sehat, mematikan harapan, dan membuat kita total putus asa.

***

Menjelang shubuh Ibnu terbangun, ia mendapati dirinya rapi terselimuti. Elena pasti yang melakukannya. Tapi Elena dan Al sudah tidak ada di kamar. Pastilah ia ikut berangkat ke masjid bersama ummi Izza yang akan melaksanakan sholat shubuh berjamaah dengan para santri, biasanya selalu ada ceramah yang disampaikan Abah selesai mengimami sholat shubuh dan Elena ingin mendengarnya agar hatinya terasa lebih lega. Elena pasti sungkan dan takut membangunkannya karena kemarahannya yang meledak-ledak beberapa hari belakangan ini.

Ibnu bersiap terburu-buru ketika mendengar adzan shubuh lalu bergegas ke masjid. Dari balik kain pembatas berwarna hijau yang memisahkan jemaah, sekilas ia melihat Ummi Izza dan Maryam bersiap sholat diantara santriwati. Sementara Elena duduk menunggu di kursi plastik di samping luar masjid sambil sesekali menimang Al.

"Mas Ibnu!" panggil Elena ketika melihat suaminya keluar dari masjid setelah ceramah selesai, diserahkannya Al ke gendongan ummi Izza. Lalu setengah berlari mensejajari langkah suaminya.

"Mas, aku ingin bicara sebelum kau berangkat kerja."

"Baiklah," Ibnu mengajak Elena duduk di bawah pohon akasia tempat di mana ia duduk bersama Abah kemarin.

Elena terdiam sesaat mengatur napas. Lalu diraihnya tangan kanan Ibnu, diciumnya dengan takzim selama beberapa saat lalu diletakannya kembali tangan itu ke pangkuan Ibnu.

"Mas aku sudah berpikir masak-masak semalam. Aku mohon maaf atas segala khilafku. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih mas sudah banyak bersabar dan berkorban selama ini dalam membimbingku sampai pada hijrahku. Bagiku dipertemukan dan menjadi istrimu adalah anugerah yang tidak terhingga. Tapi aku menyadari kesalahanku terlalu besar untuk dimaklumi. Sakit hati yang aku sebabkan terlalu dalam untuk diobati. Aku tak ingin berlaku dzalim padamu, Mas. Dan aku tak kuasa melanjutkan pernikahan ini jika mas tidak lagi ridha padaku. Jika kau sudah tak menginginkan aku lagi dan jika memang ini akan membuatmu merasa lebih baik, aku ikhlas kau ceraikan nanti setelah masa nifasku selesai."

🍁🍁🍁  Bersambung  🍁🍁🍁

Kesimpulan Novel Elena Part 13

Bagaimana part 13 nya, saya yakin Novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya bagian part berikutnya. Silahkan klik navigasi di bawah ini untuk pindah ke part berikutnya.

Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url