Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral media sosial dan selalu ditunggu-tunggu kelanjutan alur cerita oleh pembaca. Ok sekarang silahkan baca Novel Elena Part 16
Akhirnya keduanya mulai merasakan kegersangan dalam rumah tangga. Elena mulai enggan untuk merayu lebih dulu, karena jika ditolak ia merasa malu. Ibnu pun sudah berusaha memperbaiki namun kecemburuannya terlampau besar dan ia gagal lagi. Mungkinkah ia sebenarnya belum bisa memaafkan?
Keduanya mencoba tetap saling bertahan namun entah sampai kapan.
Pernah suatu kali Ibnu mengajak Elena menghabiskan akhir pekan berdua saja ke sebuah kota di luar pulau yang terkenal dengan keindahan pantainya. Demi mendapatkan kembali momen keromantisan mereka yang hilang. Ibnu sebenarnya lebih menyukai daerah pegunungan yang sejuk dan hijau. Tapi ia tahu Elena tak pernah tidak jatuh cinta pada laut dan pantai. Maka ia mengalah.
Disewanya sebuah villa rumah pantai yang terbuat dari jalinan bambu beratap rumbia di tepi dermaga yang romantik dan eksotik, dengan harga yang hampir setara tarif kamar hotel bintang lima. Tapi tak mengapa, semoga dengan usaha ini ia berhasil berbulan madu yang kedua dengan Elena.
Elena pun tak kalah menyiapkan dirinya, dari mulai perawatan wajah sampai ujung kaki. Termasuk gaun malam hari.
Keduanya berikhtiar demi hasil yang maksimal. Tapi lagi ... Ibnu tak dapat menuntaskan hasrat keduanya. Mungkin egoisme dan harga diri Ibnu yang terlalu tinggi, sehingga di setiap desahan dan belaian Elena ia merasa selalu dibayang-bayangi pemilik sepasang mata biru itu yang sedang menikmatinya.
Setelah percintaan yang gagal, Elena keluar dari kamar dan duduk di pinggir dermaga. Kakinya terjulur seolah ingin menyentuh ke permukaan laut yang tenang. Angin mengibar-ngibarkan kerudungnya yang panjang. Purnama bulat keemasan di langit yang cerah namun wajah muram Elena tertunduk sedih dan gelisah. Ia mengkhawatirkan kelangsungan pernikahannya. Tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengembalikan gairah suaminya yang hilang? Air matanya menetes.
Ibnu menghampiri Elena, duduk di sebelahnya. Ia memeluk bahu Elena dengan tangan kanan dan mengarahkan kepala Elena agar bersandar di bahunya.
"Maafkan aku ..." hanya itu yang terucap dari bibir Ibnu. Lalu keduanya berpelukan dalam diam menikmati malam yang semakin kelam.
※※※
Maryam bermain dengan Al yang kini sudah berusia satu tahun lebih. Rambutnya mulai lebat coklat gelap, pipinya bulat, matanya menawan siapapun yang menatapnya.
"Kenapa matamu biru?" tanya Maryam sambil mencolek hidung Al. Al menjawab dengan bahasa bayi, hanya ia yang tahu artinya. Maryam terkekeh mendengar ocehan Al dan Al ikut terkekeh melihat mimik Maryam. Kemudian keduanya tertawa terkekeh-kekeh bersamaan. Elena tertawa geli melihat kelakuan mereka.
Al hampir tidak pernah keluar rumah, Elena risih dengan pandangan menyelidik para tetangga. Tentu saja tak perlu keahlian khusus untuk melihat kekontrasan Al dengan anggota keluarga lainnya.
"Maryam, bolehkah Ibu bertanya tentang sesuatu?"
"Tentu saja."
"Apa yang ada di pikiranmu ketika ayah menikah lagi?"
"Aku tak yakin. Sebenarnya dulu aku tak terlalu suka padamu," ujarnya sambil tersenyum malu-malu melirik ke arah Elena.
"Lalu?" Elena balas tersenyum.
"Lalu ayah bilang bahwa kau adalah pilihan ummi jadi aku menerimamu. Aku percaya ummi tidak akan menitipkan kami berdua pada orang yang salah," sambung Maryam sok dewasa.
Elena mendesah, Safitri bisa jadi salah.
"Kata ummi, seorang perempuan itu lebih kuat dari laki-laki. Ia bisa bertahan mengurus anak sendirian. Laki-laki belum tentu bisa, harus punya pendamping."
"Begitukah? Kenapa belum tentu bisa?" Elena memancing.
"Aku tidak tahu hahaha," tergelak Maryam.
Elena tertawa hambar, tentu saja ia tahu. Seberapa lama sih seorang laki-laki normal menahan hasrat biologisnya?
"Apakah kau dan ayah baik-baik saja?" tanya Maryam menyelidik.
"Tentu saja kami baik-baik saja. Kenapa?"
"Tidak apa-apa, hanya saja sekarang aku sering melihat kalian berdua saling diam."
"Ah itu perasaanmu saja," sanggah Elena mengacak anak rambut Maryam.
Dalam hati Elena membenarkan.
※※※
Suatu malam Ibnu mengajak Elena makan malam di luar. Maryam dan Al dititipkan di rumah Abah dan Ummi Izza.
Di kedai seafood favorit Elena, setelah memesan beberapa menu. Ibnu membuka percakapan. Elena mencium sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan.
"Elena, sebelumnya aku mohon maaf. Aku belum bisa berdamai dengan masa lalumu, sehingga aku masih belum berhasil memenuhi kebutuhan batinmu. Hal itu terlalu menyiksaku," tutur Ibnu jujur.
Ah ternyata lelaki yang duduk di hadapan Elena bisa kuat menahan amarahnya tapi tak cukup hebat menepis kecemburuannya.
"Aku tak mengapa," sahut Elena hampir tak terdengar, kecemasan mulai mendominasi perasaan. Ada apa ini?
"Aku ... ingin menikah lagi," ujar Ibnu hati-hati.
Meskipun Ibnu menyampaikan maksudnya dengan pelan, namun terasa bagaikan halilintar yang menyambar di telinga Elena. Untuk sesaat Elena merasakan dunianya tiba-tiba berputar dan seketika senyap tak sesuatu suarapun terdengar. Elena memejamkan mata, mengumpulkan kembali kesadarannya yang mendadak tersebar.
Ibnu menyodorkan sebuah foto perempuan muda dan cantik. Umurnya sekitar dua puluh lima, memakai kerudung biru muda.
"Ia salah satu admin di toko kita yang baru di Bandung. Namanya Adinda. Kami akan melakukan ta'aruf pekan depan jika kau berkenan. Ia bersedia menjadi adik madumu, orangtuanya pun tidak keberatan," jelas Ibnu tapi Elena bergeming antara sadar dan tidak ia mendengarkan. Apakah ada artinya pendapatnya saat ini? Percuma.
Sepanjang perjalanan pulang, Elena diam seribu bahasa, pun tak ada setetes pun airmata. Kiranya luka tertoreh terlalu dalam hingga ia merasa hatinya mati rasa. Semua tawar, hambar.
Ibnu menganggap diamnya Elena sebagai persetujuan.
※※※
"Assalamualaykum," salam Elena seraya masuk ke dalam rumah Ummi Izza.
"Wa alaykumsalam. Elena? Berdua saja dengan Al? Sudah ijin suamimu kau kemari?"
"Maryam sekolah, Ummi. Aku sudah pamit ke Mas Ibnu mau main ke sini, boleh kok. Nanti siang aku pulang sekalian jemput Maryam."
Ummi Izza mengambil Al dari gendongan Elena, menciumnya gemas berkali-kali. Elena tersenyum sekilas, lalu beranjak masuk ke dalam kamar bekas Safitri. Direbahkan badannya yang penat, kepalanya terasa penuh, dadanya sesak. Lukanya bisu, tak ada airmata yang mengalir.
Ummi Izza menyusul masuk ke kamar, membawakan segelas teh manis hangat sambil sebelah tangannya masih menggendong Al.
"Ada apa lagi, Elena?" perempuan panutan Elena itu duduk di sisi tempat tidur. Elena bangkit, diraihnya Al dari pangkuan ummi Izza lalu diletakkan di tempat tidur kemudian Al sibuk bermain dengan jari-jemarinya sendiri. Elena merebahkan kepalanya di pangkuan ummi Izza, kedekatannya luar biasa lebih dari ibu kandungnya sendiri.
"Mas Ibnu akan menikah lagi, Ummi."
Ummi Izza menetralisir keterkejutannya dengan diam, ia menghela napas panjang sambil mengelus-elus kepala Elena dalam hati berdoa. 'Ya Allah, jadikanlah ia orang yang ridha'.
"Apa yang terjadi?"
Elena menghela nafas berat, ia belum pernah menceritakan sebelumnya kepada siapapun.
"Mas Ibnu tidak bisa berhubungan suami istri sejak saat itu, Ummi. Nampaknya ia trauma dan tidak bisa mengendalikan amarah dan kecemburuannya."
"Apakah ia bermaksud menceraikanmu?"
Elena menggeleng, "Ia mempertahankan aku, katanya masih mau mencoba lagi ... Aku tak tahu ke depannya."
"Tidak akan datang rasa galau dan sedih kecuali karena kurangnya rasa ridha kepada takdir Allah, Elena.
Hal termulia bagi seorang hamba adalah ketika Allah berikan rasa ridha dan pasrah pada hati seorang hamba.
Ketika seseorang ridha kepada Allah, pertanda semakin kuat keyakinannya. Bahkan bila seseorang telah memiliki keridhaan terhadap situasi yang tidak diinginkan, maka ia bisa melewati situasi sepahit apapun dengan tenang terlepas dari rasa khawatir berlebihan.
Seperti yang diucapkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, 'Ridha dengan ketetapan Allah yang tidak menyenangkan adalah tingkat keyakinan yang paling tinggi'."
Elena menyimak nasihat Ummi Izza, merasakan hawa sejuk menerobos masuk ke dalam rongga dadanya yang sesak.
"Allah itu Maha Pencemburu, Nak. DIA tak ingin hamba-Nya mencintai sesuatu atau seseorang lebih daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya. DIA menimpakan kepedihan agar kita tidak berharap kepada manusia dan berpaling kembali kepada-Nya. Teruslah meminta pertolongan Allah dengan sholat dan sabar. Barangkali DIA akan memberikan jawaban tidak seperti pilihanmu, tapi yakinlah pilihan-Nya selalu benar."
"Aku minta maaf tak bisa menjadi sebaik Safitri ..."
"Elena ... tak perlu berusaha menjadi lebih baik dari orang lain, cukuplah menjadi lebih baik dari dirimu yang sebelumnya." Ummi Izza mencium kepala Elena. Yang dalam beberapa menit kemudian terlelap dalam letih yang tak terbahasakan.
※※※
Elena menguatkan hatinya mendampingi Ibnu datang ke rumah Adinda. What doesn't kill you, make you stronger. Apa yang tidak membunuhmu, akan membuatmu semakin kuat. Begitulah yang ada di benak Elena.
Selama proses ta'aruf Elena lebih banyak diam, ia hanya mengajukan permintaan sederhana yaitu tinggal di rumah terpisah dan pada saat bukan gilirannya ia diperkenankan tinggal di rumah Abah dan Ummi Izza. Ibnu menyetujuinya.
Semua berlangsung cepat, tiga kali pertemuan lalu tanggal pernikahan ditentukan.
Luka Elena luka yang bisu. Tak ada airmata mengalir, hanya ia menjadi lebih pendiam dan lebih senang dalam kesendirian.
🍁🍁🍁 Bersambung 🍁🍁🍁