Novel Elena (Part 11) - Baca Gratis Disini
Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor WA: 0821 1707 9404
Novel Elena ini ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca. Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 11
Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti
Baca Novel Elena Part 11 Di Sini Sekarang
Ibnu memperhatikan sosok mungil itu sambil tersenyum, kulitnya putih bersih, pipinya bulat, badannya montok, hidungnya mancung. Senyum Ibnu berangsur surut ketika ia melihat bola matanya ... coklat kebiruan.
Mencoba tetap bersikap biasa, hati hati Ibnu menyerahkan kembali bayi itu ke tangan perawat dengan tangan bergetar. Lalu ia keluar ruangan menuju mushola untuk sholat shubuh, sungguh ia butuh audiensi khusus dengan Rabbnya.
Beberapa pasang mata perawat memperhatikannya sambil berbisik-bisik namun ia tidak mempedulikannya. memacu Ibnu mobilnya dengan kecepatan tinggi ke sebuah tanah lapang, berhenti di tengahnya dan memencet klakson dengan keras berkali-kali. Hatinya dipenuhi amarah, sekarang ia paham betapa batas cinta dan benci itu lebih tipis dari kulit ari.
Novel ElenaPart 11
‘Baiklah, aku tidak boleh gegabah’, dalam hati ia mencoba menenangkan diri.
Diatur napasnya yang tersengal. Bisa jadi matanya berwarna coklat kebiruan karena nenek Elena memang keturunan Eropa. Tapi sependek pengetahuannya, hanya satu di antara enam orang yang lahir dengan warna mata biru di dunia.
Penyebabnya adalah sangat sedikitnya jumlah melanin di stroma mata. Secara genetik ini bersifat resesif sehingga membutuhkan multigen untuk dapat melahirkan bayi bermata biru. Artinya gen resesif hanya akan muncul apabila berpasangan dengan gen resesif lain.
Sementara tak ada seorangpun bermata biru di keturunan keluarga Ibnu. Entahlah! Ia merasakan sakit kepala. Sambil menghentak-hentakkan dahinya ke atas setir berkali-kali, bibirnya komat-kamit terus beristighfar. Kedua matanya terasa panas, begitu juga hatinya.
‘Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?’ lirihnya dalam hati. Ibnu kembali ke rumah sakit.
Ia mengetuk ruangan dokter Hana yang membantu persalinan Elena. Seorang muslimah, setengah baya. “Assalamualaikum dokter, boleh saya masuk?”
“Waalaikumsalam. Saya belum mulai jam praktek, Pak.” “Maaf dokter, sebentar saja. Saya mohon.” Wanita itu menatap sekilas pada wajah lelah dan kusut Ibnu, lalu menghela napas sedikit iba.
“Baiklah, lima menit.” Elenamenatap bayimungildipelukannya yang sedang berusaha menyusu dengan gigih. Airmatanya menetes, ketakutannya menjadi kenyataan.
Dengan sekali pandang, ia sudah tahu si kecil ini mirip siapa. Terlalu kentara untuk tidak dianggap berbeda. Pun begitu selayaknya seorang ibu, ia tetap mencintainya. Ia akan mempertahankan apapun resikonya. Seorang perawat masuk membawa sarapan dan beberapa vitamin.
"Kakak, lihat suamiku, bukan?" Elena bertanya. “Maaf, Bu. Saya belum melihat Anda sejak pagi ini.
"Dia menjawab dan mengucapkan selamat tinggal. Elena gelisah, entah dari mana suaminya sekarang. "Apakah dia baik-baik saja? Pertanyaan bodoh! ', Dia mengutuk dirinya sendiri.
Tentu saja tidak. oke. Hati siapa yang tidak patah hati? Setelah kesabarannya selama ini, ia bahkan dikaruniai seorang anak yang bukan dari benihnya.
"Assalamualaikum..." terdengar suara dari pintu diiringi ketukan pelan. Allah, Abah… Ummi Izza… Maryam…” Buru- Buru-buru ia menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan bergo panjangnya.
menyambut tamu yang datang dengan mata berkaca-kaca. Mereka adalah orangtua Safitri yang sudah sejak kecil dikenalnya. Orang-orang baik dengan hati seluas samudra, tak heran Safitri tumbuh dengan akhlak yang mulia dalam didikan keduanya. Untuk beberapa saat Ummi Izza memeluk Elena hangat sambil mengusap kepala sampai ke punggungnya dan Elena tak kuasa untuk tidak terisak, bebannya terlalu berat.
“Nenek, permisi. Aku mau lihat adik baruku.” Maryam tak sabar menarik-narik abaya Ummi Izza sehingga pelukannya terlepas dari Elena.
“Haha Maryam anak Ibu yang cantik dan shalihah, sini sini nak.” Elena mengulurkan satu tangannya. Maryam mendekat dengan antusias. Lalu dengan lembut ia mencium pipi adik bayi itu, “Muaaaaaah…” katanya. "Adik bayi yang lucu, mata biru.
Baunya seperti jus jambu biji, ”Maryam bernyanyi dan semua orang tertawa ... canggung.
"Di mana Ibnu?" tanya Abah.
"Mungkin keluar untuk sarapan. Dia belum makan dari kemarin,” jawab Elena ragu-ragu. Mata tertuju pada Ummi Izza, wanita tua itu tersenyum sambil mengangguk dengan bijak.
Dia tahu persis siapa Elena dan apa posisinya saat ini.
“Abah coba cari tahu,” kata Abah. Elena mengangguk.
"Kapan kamu bisa pulang?" Ummi bertanya Izza.Iamengambil alih bayi darigendongan Elena, kemudian satu tangannya menyodorkan nampan sarapan. Secara tidak langsung menyuruhnya makan.
“Besok, Umm. Alhamdulillaah,” jawab Elena.
sudah datang “Mama Papa menjengukmu?”
“Belum Umm, mungkin baru bisa datang besok atau lusa katanya.” Elena menjawab sambil mulai menyantap sarapannya.
Mereka berbincang-bincang ringan, sesekali tertawa menimpali tutur dan tingkah Maryam. Nampak sekali Ummi Izza berusaha mengalihkan perhatian Elena dari kegelisahan dan kesedihannya. Selang beberapa lama, Ibnu dan Abah kembali ke kamar membawa buah dan susu segar untuk Elena.
“Sudah sarapan, Mas?” tanya Elena. “Sudah,” jawab Ibnu singkat. Elena merasakan bahwa suaminya enggan memandangnya.
“Kami pamit pulang dulu ya. Untuk sementara waktu biarlah Maryam tinggal bersama kami dulu sampai Elena pulih benar,” kata Ummi Izza. “Bagaimana Maryam?” tanya Ibnu.
“Aku suka tinggal bersama Nenek. Tapi aku juga ingin membantu Ibu mengurus adik bayi,” sahut Maryam manja.
“Kamiakanmenjemputmusecepatnya,” Ibnu tersenyum sambil mengusap kepala Maryam.
“Baiklah,” Maryam kembali mencium pipi adik bayinya yang tertidur pulas di gendongan Ummi Izza.
Ummi Izza meletakkan hati-hati tubuh mungil di box bayi. Lalu berpamitan, mencium kedua pipi Elena dan berpelukan.
“Sebaik-baik penebusan dosa itu di dunia, maka bertahanlah nak dengan kesabaran yang banyak ...” Ummi Izza berbisik perlahan.
Elena mengangguk angguk sambil kembali meneteskan airmata. Ibnu menutup pintu perlahan setelah mereka bertiga pergi. Ia masih acuh tak acuh dengan Elena.
“Mas ...” “Jangan sekarang, Elena. Kita berdua butuh istirahat,” Ibnu menahan Elena berbicara dengan mengangkat tangannya sedikit ke udara. Ia tetap tidak memandang Elena.
Ibnu mengambil bantallalu merebahkan dirinya di sofa membelakangi Elena, pura pura tidur. Elena mendesah pendek. Hatinya sakit tapi ia tahu hati Ibnu jauh lebih terluka parah. Ia hanya mampu memperhatikan suaminya tanpa berkata apa-apa, ia kehilangan sosok lembut dan hangat. Air matanya menetes lagi. Siang keesokan harinya, setelah membereskan semua administrasi dan bersiap pulang. Ibnu kembali menemui dokter Hana sesuai perjanjian yang dibuatnya kemarin, seorang diri.
“Silakan duduk, Pak.” “Terima kasih, Dokter. Bagaimana hasilnya?” tanya Ibnu tanpa berbasa-basi. Dokter Hana menyodorkan sebuah amplop.
Ibnu membukanya, membaca sekilas lalu memasukkan kembali ke dalam amplop.
“Saya tidak paham, Dokter. Tolong katakan saja dengan bahasa yang mudah, apakah ia anak saya atau bukan?” Ibnu bertanya lagi dengan sedikit tidak sabar.
Dokter Hana menghela napas berat, dari awal ia sudah mencium ketidakberesan.
“Dari hasil tes darah yang tertera di kertas itu, dapat kami simpulan bahwa bayi itu bukan dari benih Bapak. Manusia Golongan darahnya A, B, AB dan O dengan rhesus (+) atau (-). Orang Asia seoerti kitabiasanya rhesus (+), hanya 2% yang (-) yaitu keturunan orang Asia yang menikah dengan orang Asing namun untuk lebih yakinnya, Bapak bisa melakukan tes DNA.”
“Tidak perlu,” Ibnu menjawab singkat, mukanya merah menahan marah.
“Selain tes DNA yang tadi saya usulkan dan tes darah yang sudah Bapak lakukan, sebenarnya seiring berjalannya waktu akan terlihat dengan sendirinya melalui kemiripan wajah atau anggota tubuh, kemiripan karakter dan ikatan batin yang sangat kuat meskipun berpisah lama.”
“Saya sudah menduga, Dokter. Saya hanya perlu penegasan untuk lebih yakinnya. Terima kasih, Dok. Saya mohon tolong rahasiakan.”
“Jangan khawatir, Pak. Salah satu tanggungjawabkamiadalah merahasiakan data pasien.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama.” Ibnu keluar dari ruangan dokter, rahangnya mengeras sementara tangannya terkepal.
Ia berbelok ke arah kamar kecil dan tak kuasa menahan gejolak dalam hatinya. Dihantamnya dinding lorong beberapa kali dengan tangan kanan untuk meluapkan emosi. Belum pernah ia merasakan semarah ini dalam hidupnya.
Bercak darah membekas di dinding, buku buku jemari bagian luar Ibnu terluka. Tapi sakitnya tidak sebanding dengan luka di dalam hatinya. Ah, rupanya inilah yang Elena sembunyikan dalam diamnya. Ibnu kembali ke kamar, menjemput Elena dan bayinya.
Mengendarai mobil pulang ke rumah tanpa berkata apa-apa. Elena merasa tersiksa. Sampai di rumah, Ibnu meninggalkan Elena terperangah di kamarnya yang ternyata sudah dihias sedemikian rupa dengan balon-balon berwarna biru.
Sementara ia seorang diri masuk ke dalam kamar Maryam. Elena tak tahan lagi. Diletakkannya bayi mungil yang terlelap itu ke dalam box bayi yang sudah disiapkan Ibnu beberapa waktu sebelum kelahirannya. Ia menghampiri Ibnu di kamar Maryam.
“Mas ...” Ibnu menoleh sebentar lalu memalingkan mukanya tanpa sepatah katapun.
“Mas ... marahlah, makilah, pukul aku. Tapi aku mohon jangan diamkan aku. Bicaralah. Aku tak tahan tidak kau acuhkan ...”
“siapa lelaki itu?” tegas ibnu.
Kesimpulan Novel Elena Part 11
Bagaimana Part 11 nya, saya yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya di Part berikutnya. Silahkan klik navigasi Partnya di bawah ini untuk pindah ke Part berikutnya.
Bookmark link ini "https://linktr.ee/novel.elena" untuk baca nanti